Djadja Suparman membeberkan pengalamannya selama 9 tahun bertugas pada jabatan strategis ABRI/TNI mulai 1997-2005 dalam situasi perubahan politik dan kekuasaan kepemimpinan lima Presiden RI.
Aksi mahasiswa sebagai pelopor pembaharuan yang menuntut perubahan total 1998 yang berujung penolakan terhadap Presiden akhirnya dikudeta oleh kelompok yang mempunyai tujuan yang sama tetapi dengan visi dan misi berbeda, dengan memanfaatkan suara dan tekanan mahasiswa.
Agitasi dan provokasi untuk melakukan aksi massa di seluruh kota besar Indonesia kemudian muncul Peristiwa Trisakti, Kerusuhan Mei, Pendudukan Gedung DPR/MPR, aksi massa ke Istana yang dibatalkan Amien Rais, sampai dengan mundurnya Presiden Soeharto. Hal yang sama juga terjadi pada waktu menjatuhkan Presiden Habibie dengan people power pada Sidang Istimewa MPR 1998, kemudian terjadi Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II tahun 1999.
Apakah tuntutan perubahan yang bergulir pada masa itu murni dengan tujuan untuk kepentingan rakyat? Apakah aksi massa yang semula damai kemudian berubah anarkis dan radikal sebagai tindakan murni rakyat Indonesia?
Menurutnya, perubahan yang terjadi masa itu adalah konflik kepentingan politik dan kekuasaan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto dan Presiden Habibie serta adanya kelompok yang berupaya menjadi penguasa dengan memanfaatkan kelemahan Presiden Abdurrahman Wahid dengan menghalalkan segala cara dan pada masa itu Djaja Suparman diajak dua kali kudeta.
Bagaimana menyikapi peristiwa dan dinamika yang terjadi pada masa kepemimpinan kelima Presiden dan tentang posisi serta tugas ABRI pada waktu itu dengan segala dampaknya?
Adakah keterlibatan asing mewarnai proses reformasi dan demokratisasi di Indonesia? Bagaimana dengan tanggung jawab dan risiko sebagai seorang pemimpin dihadapkan kepada kepentingan bangsa dan negara?
Semua pertanyaan itu akan terjawab dalam uraian fakta dan data serta pengalaman Djadja Suparman dalam buku ini.