Charles Darwin pernah mengatakan bahwa yang bisa bertahan bukan semata yang terkuat dan terpintar, namun yang responsif terhadap perubahan. Kini kita hidup di alam perubahan yang begitu cepat, diiringi dengan ketidakpastian dan kompleksitas yang amat tinggi. Lihat saja tahun 2020, di saat kita baru mulai menyadari arus besar Revolusi Industri 4.0, tiba-tiba pandemi Covid-19 datang secara tak terduga. Pandemi Covid-19 telah menjadi sumber ketidakpastian baru: kapan kerja akan kembali normal dan kapan sekolah buka secara luring sebagaimana biasanya? Ketidakpastian ini telah berdampak secara ekonomi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Ketidakpastian pada akhirnya telah menjadi ketidakpastian global. Artinya, semua negara berada dalam situasi yang sama, sehingga siapa yang paling responsif maka dialah yang akan bertahan. Bagaimana agar Indonesia tergolong tidak saja bertahan pada 2021, tetapi juga menjadikan 2021 sebagai momentum kebangkitan baru?
KEKUATAN INOVASI
Pandemi Covid-19 telah membawa dunia pada sebuah krisis besar. Namun demikian, pada umumnya setiap krisis ternyata menghasilkan lompatan-lompatan inovasi baru. Saat Krisis Perang Dunia kedua telah ditemukan komputer yang pertama kali, disertai mesin jet pesawat, obat penisilin, dan radar. Pertanyaannya, lompatan inovasi apa lagi yang akan muncul pada saat krisis Covid-19 sehingga menjadi tonggak baru perubahan dunia?
Dalam Indeks Inovasi Global 2020, Indonesia berada di urutan ke 85. Di Asia tenggara, posisi Indonesia di bawah Singapore, Malaysia, Vietnam, Thailand, Philipina, dan Brunei. Artinya di Asia Tenggara saja Indonesia jauh tertinggal. Apakah mungkin tahun 2021 Indonesia akan menyodok ke posisi 3 besar di Asia Tenggara? Apakah Indonesia akan berhasil melakukan lompatan-lompatan inovasi sehingga Indonesia benar-benar menjadi negara yang berpengaruh di dunia?
Ada sejumlah syarat lompatan-lompatan inovasi itu berhasil dilakukan. Pertama, lompatan inovasi mensyaratkan kekuatan “future practice” atau “next practice”. Ini akan menjadi kekuatan disrupsi, sebagaimana Rhenald Kasali sering ungkap. Bila kita secara kompak memiliki orientasi baru untuk terus menghasilkan “future practice” maka kita lah yang akan menjadi penentu kecenderungan perubahan. Jack Ma telah hadir dengan Alibaba-nya dan menjadi penentu kecenderungan global. Padahal 10 tahun lalu Jack bukan siapa-siapa. Mark Zuckerberg dengan Facebook-nya telah membuat dunia semakin berjejaring. Lalu Steve Chan, Chad hurly, dan Jaweed Karim menerobos batas kelaziman bisnis media dengan Youtube nya. Kini semua orang bisa menjadi artis, penyanyi, pelawak, presenter, dan tokoh hanya melalui Youtube. Bisnis media tak lagi perlu konten. Inilah yang mendisrupsi media televisi. CNN, NHK, dan BBC tak lagi bersaing, tapi mereka sama-sama menghadapi saingan baru yang sama sekali bukan media televisi, yaitu Youtube. Mereka lah contoh yang sukses menjalankan “future practice”, yang tentu selalu diiringi dengan kreativitas tinggi.
Masalah saat ini adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih berorientasi pada “best practice”, bukan “future practice”. Artinya kita masih asyik meniru orang lain. Saat berbuat, kita selalu mencari rujukan dulu dan tidak berani melangkah manakala rujukan tidak ada. Kuatnya orientasi pada “best practice” hanya akan menjadikan kita sebagai pengikut selamanya. Akibatnya, kalaupun kita maju maka kemajuan kita akan selamanya di bawah bayang-bayang orang lain yang menjadi rujukan.
Kedua, “future practice” hanya hadir di kalangan orang-orang yang memiliki “Growth Mindset”, dan bukan fixed mindset. Istilah “growth mindset” dipopuperkan oleh Carol S.Dweck (2007). Orang yang memiliki “growth mindset” selalu sadar bahwa dunia telah berkembang dan berubah sehingga tidak ada kata lain selain harus ikut berubah. Baginya tidak ada istilah gagal. Kegagalan akan dijadikannya bahan pembelajaran berikutnya untuk tumbuh berkembang. Sebaliknya orang yang memiliki fixed mindset selalu menganggap kegagalan adalah batas kemampuannya. Orang dengan “Growth Mindset” yakin bahwa dirinya mampu mengubah dirinya sendiri, dan selalu ingin mencoba dengan hal-hal baru. Sebaliknya orang dengan “fixed mindset”, akan fokus pada keterbatasannya, dan kemampuan setiap orang dianggapnya fixed. Orang dengan “growth mindset” hidup penuh pikiran positif dan optimisme. Sebaliknya orang dengan “fixed mindset” hidup penuh dengan pikiran negatif dan pesimisme.
Ketiga, “Growth mindset” umumnya dimiliki oleh orang yang tergolong “agile learner”, pembelajar yang lincah, cepat, dan tangkas. Hari ini yang diperlukan bukan sekedar pembelajar, tapi pembelajar yang cepat, lincah, dan tangkas. Orang yang bertahan dan mampu merespon perubahan adalah orang-orang yang selalu cepat belajar sehingga mudah beradaptasi dengan lingkungan baru manapun. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada tahun 2030. Namun dengan berbekal sebagai “agile learner” maka kita akan cepat beradaptasi.
Keempat, tiga kata kunci di atas (future practice, growth mindset, agile learner) dapat dikembangkan melalui peran perguruan tinggi (PT). PT yang berorientasi pada lompatan inovasi harus terlebih dahulu diperkuat para mahasiswa dan dosennya yang bercirikan tiga kata kunci tersebut. Oleh karena itu, untuk menuju titik itu, tidak ada cara lain bagi PT selain melakukan perombakan kurikulum dan menciptakan ekosistem baru yang kondusif bagi tumbuhnya tiga kunci di atas. Dengan kata lain, lompatan-lompatan inovasi sebagai penentu sejarah baru dunia akan sangat tergantung pada kekuatan PT. PT hebat akan menghasilkan inovasi hebat. Bisa jadi rendahnya kita dalam indeks inovasi global juga menjadi cerminan peran PT yang belum maksimal, atau belum dimaksimalkan.
Fakta membuktikan bahwa bangsa hebat ditentukan oleh lompatan inovasi yang hebat. Dan inovasi hebat akan ditentukan PT yang hebat. Karena itu, untuk menjadi bangsa hebat maka pembenahan dan penguatan PT adalah mutlak.
OPTIMISME
Apakah kita bisa menjadi bangsa hebat? Bangsa kita masih terus dihantui dengan beban masa lalu sebagai bangsa yang terjajah selama tiga setengah abad. Seolah-olah beban masa lalu akan terus mewarnai sikap keseharian kita yang merasa inferior, minder, dan tidak percaya diri. Padahal Bung Karno dan Angkatan 45 telah memberi contoh bahwa kita bisa bangkit. Proklamasi Kemerdekaan adalah bukti bahwa kita lah penentu nasib masa depan bangsa ini. Kita tidak beri cek kosong kepada siapapun untuk menentukan masa depan bangsa ini. Bahkan pendiri Republik ini telah memberi contoh dan teladan bahwa kita bisa bangkit dan menjadi pemimpin dunia. Konferensi Asia Afrika dan KTT Non Blok adalah bukti inferioritas telah kita pupus, dan kita benar-benar menjadi negara yang berpengaruh di dunia. Pertanyaan berikutnya adalah 100 tahun ulang tahun kemerdekaan pada 2045 nanti, bangsa kita akan menjadi seperti apa?
Kata pepatah, mimpi itu gratis. Keberanian untuk bermimpi akan menentukan masa depan kita. Apakah kita berani bermimpi bahwa pada tahun 2045 kita menjadi bangsa nomor 1 di dunia? Sama-sama bermimpi mestinya kita bermimpi maksimal sebagaimana Bung Karno ucapkan,” Bermimpilah setinggi langit. Jika Engkau jatuh, Engkau akan jatuh diantara bintang-bintang”.
Bermimpi menjadi nomor satu di dunia bukanlah khayalan. Apa yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Korea Selatan? Sebenarnya tidak ada bedanya. Mereka hidup 24 jam dengan dua mata, dua telinga, dua kaki, dan dua tangan. Bahkan secara ekonomi Korea Selatan pernah setara dengan Indonesia pada tahun 1960 an. Bedanya ada pada tiga hal: visi, strategi, dan eksekusi. Karena itulah mimpi besar harus diikuti dengan lompatan visi yang jauh ke depan dan adaptif terhadap perubahan, disertai dengan strategi yang jitu, dan eksekusi yang cepat-tepat. Hari ini ketepatan tidak cukup, tetapi perlu kecepatan.
Pandemi Covid-19 membuat semua negara seolah sama kondisinya. Pada titik start yang sama ini, kemudian tergantung pada siapa yang lebih cepat lagi untuk berlari. Kecepatan kita berlari sangat tergantung dari visi, strategi, dan eksekusi. Kita perlu fokus pada tiga kunci ini.
Optimisme ini harus terus kita bangun. Optimisme adalah energi positif untuk membawa kita keluar dari krisis dan energi menemukan masa depan. Saatnya kita sudahi energi negatif yang masih subur pada tubuh bangsa ini. Kekompakan dan kebersamaan adalah modal penting untuk kemajuan. Tak terbayangkan bila itu semua diperkuat dengan spirit “growth mindset” dan orientasi “future practice”, maka kita akan kaya inovasi, dan ini akan menjadi sumber inspirasi untuk terus berinovasi lagi. Inovasi yang berkelanjutan ini adalah modal penting menjadi negara hebat.
Apa yang akan terjadi pada tahun 2045? Kita benar-benar tidak tahu. Namun Abraham Lincoln mengingatkan kita bahwa cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya. Selama 25 tahun mendatang kita harus benar-benar berbenah. Indonesia 2045 akan sangat tergantung dari apa yang kita ciptakan hari ini. Karena itulah harus ada tonggak inovasi baru pada 2021. Indonesia 2021 adalah penentu Indonesia 2045.
Los Angeles, 21 Desember 2020
Ada 5 pesan dan harapan saya pada alumni IPB pada Forum Silaturahmi Alumni (FSA) IPB, 19 September 2020.
Pertama, Alumni IPB harus kompak, solid, saling membesarkan, dan jangan ada konflik yang tidak perlu di media sosial. Ingat pepatah Jawa “kalah wirang menang orang kondang” yang artinya kalah malu dan menang tidak dapat apa-apa.
Kedua, Alumni IPB harus percaya diri dan bangga pada almamater. Kita harus bangga dengan karya almamater kita. Banggalah dengan apa yang kita miliki dan kita capai. Nampaknya bagi mereka yang inferior, seolah kita ditakdirkan sebagai follower dan tertinggal selamanya. Tidak ada keberanian untuk menjadi yang terdepan. Inilah ciri-ciri mental inferior yang harus kita pupus.
Ketiga, Alumni IPB harus menjadi pelopor pembangunan Agro-Maritim 4.0. Pandemi Covid-19 adalah momentum untuk menunjukkan pada dunia bahwa sector agro-maritim adalah solusi. Sektor ini yang masih tumbuh positif, dan karenanya harus kita wujudkan kemandirian pangan. Jaringan alumni IPB merupakan asset bangsa untuk menunjukkan hal tersebut.
Keempat, Alumni IPB harus menjadi sumber terbaik inovasi dan inspirasi. Dunia terus berubah. Inovasi kita juga harus tumbuh dan berubah. Mari terus berinovasi dengan daya manfaat yang lebih besar lagi. Kuncinya adalah kreativitas, future mindset, kolaborasi, dan berani bermimpi. Mimpi besar akan menghasilkan inovasi besar. Tebarlah selalu inspirasi. Jadikan pertemuan dan silaturahmi sebagai arisan inspirasi. Inspirasi akan membuat kita optimis dan percaya diri.
Kelima, Alumni IPB harus menjadi bagian dari masa depan. Kata Abraham Lincoln, “the Best way to predict the future is to create it”. Menciptakan masa depan hari ini hanya bisa terjadi kalau kita punya inspirasi dan inovasi. Keduanya berasal dari sebuah mimpi. Mimpi tidak lah muncul saat kita tidur, tapi saat kita sadar. Untuk menjadi bagian dari masa depan kita harus fokus pada future practice dan bukan semata best practice. Fokus pada future practice akan menjadikan kita leader dan penentu perubahan. Sebaliknya fokus pada best practice hanya menjadikan sebagai follower semata.
Mengapa kita selalu menjadi follower dari bangsa lain? Karena kita tidak pernah berpikir tentang future practice. Karena kita tidak percaya diri dan tidak optimis untuk menemukan masa depan kita sendiri. Ingat bangsa maju berisi orang-orang yang hidup 24 jam, punya 2 mata, 2 telinga, 2 tangan, dan 2 kaki persis seperti kita. Apa bedanya dengan kita? Bedanya pada Visi, Strategi, dan Eksekusi yang adaptif terhadap perubahan. Era sekarang memerlukan agility, kecepatan, dan kreativitas. Kita butuh mindset baru dan cara baru untuk bergerak akurat dan cepat. Masa depan sulit dilihat dengan kacamata masa lalu.
Oleh karena itu Himpunan Alumni IPB dan IPB harus bersama-sama memperkuat para mahasiswa dan alumni IPB untuk memiliki 3 future skills tersebut: Visi, Strategi, dan Eksekusi, dengan penuh optimis dan percaya diri. Kita perkuat skill leadership, technopreneurship, dan sociopreneurship dalam integrasi kurikulum akademik dan kemahasiswaan. Kita akan hadirkan calon-calon pemimpin bangsa dari kampus terbaik ini. Yakni calon pemimpin yang optimis menjadikan bangsa ini selalu terdepan. Salam Satu Hati Satu IPB.
19 September 2020
'Terpilih' menjadi bagian dari penyintas (survivor) covid-19 tentu bukanlah hal yang saya harapkan. Namun saya bersyukur, karena barangkali begitulah caraNya agar saya punya kesempatan belajar hal baru, termasuk introspeksi diri. Paling tidak ada tiga catatan pembelajaran yang dapat saya bagikan sebagai penyintas Covid-19.
Pertama, ketahanan spiritual. Ibnu Sina mengatakan, “kepanikan adalah separoh penyakit, ketenangan adalah separo obat, dan kesabaran adalah langkah awal kesembuhan”. Karena itu, pertanyaannya : apa yang menjadi sumber ketenangan?
Mengingat Allah adalah sumber ketenangan hati (QS Arra’d: 28) dan dalam QS Al-Baqarah 152 Allah juga berfirman, “Karena itu ingatlah kepadaku, niscaya aku akan ingat kepadamu”. Mengingat Allah berarti semakin mendekatkan diri: dzikir, sholawat, tadarus Al-Quran, mendengarkan ayat-suci Al Quran, beribadah dan doa secara total. Ingat, Al Quran adalah juga sumber syifa atau “obat” dalam arti luas, sebagaimana firmanNYA, “Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi syifa’ dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”(QS. Al Isra’: 82).
Mendekatkan diri adalah membangun keikhlasan dan membangun prasangka baik, termasuk melihat cobaanNYA ini sebagai momentum perbaikan diri. Yakni, momentum menjadi pribadi yang berkualitas yang sabar, rendah hati, peduli, dan menjadi hamba yang lebih baik.
Kekuatan iman mendatangkan kemampuan mengambil hikmah setiap cobaan. Ingat janji Allah bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan (QS 94:5-6). Kekuatan iman akan mendatangkan prasangka baik. Prasangka baik kepada Allah adalah sumber ketenangan, dan ketenangan adalah sumber peningkatan imun, dan imun adalah pertahanan terbaik menghadapi penyakit. Karena itu, berprasangka baiklah kepada Allah karena Allah akan berkehendak sesuai prasangka hambanya.
Kedua, ketahanan interpersonal. Saya menyatakan secara terbuka bahwa saya positif terkenan Covid-19, untuk memudahkan tracing dan meminimumkan risiko menularnya ke orang lain. Setelah informasi meluas, doa terus bergema. Yang pokok adalah doa orang tua dan keluarga yang memiliki ketulusan khusus. Begitu pula peran para sahabat dalam: (a) mengirimkan doa dan semangat, (b) mengirimkan tips pengobatan, dan bahkan banyak yang (c) membantu obat-obatan.
Komunikasi interpersonal yang baik menjadi sumber kebahagiaan. Sebaliknya, komunikasi interpersonal yang buruk akan menjadi energi negatif yang menguras emosi yang bisa menurunkan imun. Cinta tulus tak bersyarat para sahabat melalui doa dan atensi adalah energi positif yang menciptakan ketenangan, semangat baru, dan optimisme kesembuhan yang bisa memperkuat imun.
Ketiga, ketahanan fisik, yang bisa muncul dari ketahanan spiritual dan interpersonal di atas. Namun demikian ketahanan fisik juga harus diperkuat dengan tindakan medis. Rumah sakit (RS) memiliki standar obat-obatan anti Covid-19 berupa paket multi vitamin C-D-E & zinc, obat-obatan termasuk antibiotik, makanan bergizi dan obat kumur, yang sebagian besar ditujukan peningkatan imun. RS melakukan pemantauan rutin suhu, tekanan darah dan saturasi.
Siapapun yang dinyatakan positif sebaiknya dibawa ke rumah sakit untuk diagnosis: paru-paru, darah, dan sekaligus deteksi kemungkinan ada penyakit sampingan yang akan berpengaruh untuk strategi pengobatan Covid-19.
Selain itu, saya mengkonsumsi obat-obatan herbal berbagai merk, propolis, permen Cajuput kayu putih inovasi IPB, madu, jahe merah, dan setiap saat menghirup aroma minyak kayu putih baik dengan euca roll on, maupun menghirup uap air panas yang ditetesi kayu putih. Saya juga mengkonsumsi air Zam Zam. Banyak juga yang mengirimkan ramuan herbal lainnya tak bermerk, yang sebagian saya konsumsi ketika sudah mengetahui kandungannya. Semua konsumsi obat herbal perlu kita konsultasikan ke dokter.
Jadi, kunci menghadapi Covid-19 adalah imun, dan peningkatan imun bisa terjadi karena penguatan ketahanan spiritual, interpersonal, dan fisik.
Tulisan ini tidak berpretensi sebagai analisis faktor kesembuhan. Tulisan ini adalah sekedar cerita dan refleksi apa yang saya lakukan dan alami selama 6 hari perawatan di RS ini, yang Alhamdulillah kemudian dinyatakan sembuh setelah uji swabnya negatif. Mari kita terus saling mendoakan semoga sehat selalu sehat walafiat. Semoga bermanfaat.
Sentul, 26 September 2020
Semua hari itu penting. Namun hari ini terasa lebih penting karena menjadi momentum untuk semakin mengetahui bahwa usia bertambah yang berarti kesempatan hidup makin berkurang. Karena itu tak ada jalan lain selain membuat hidup harus makin berarti.
Apa itu hidup berarti? Hidup berarti adalah meningkatnya satuan output dan impact per satuan waktu dalam hidup kita. Impact pada siapa? Tentu pada sesama dan alam semesta. Hidup berarti adalah hidup yang bermanfaat untuk orang lain karena kata Nabi: khoirunnaas anfa'ahum linnaas, yang artinya sebaik2 manusia adalah yang bermanfaat buat sesama. Lagu Anugerah yang kuciptakan beberapa tahun lalu mengisahkan tentang hal tersebut, tentang renungan pertambahan usia.
Agar hidup berarti, maka sisa hidup harus disyukuri dengan memperbanyak foot print atau jejak-jejak kaki yang memiliki impact lebih besar dimana pun kita berada dan dalam posisi apapun. Semakin banyak bersyukur maka nikmat akan bertambah (QS Ibrahim 7).
Mengapa nikmat bertambah, karena mestinya semakin bersyukur berarti kita semakin mendayagunakan anugerah iman, akal, fisik, dan anugerah kemerdekaan untuk mengemban misi rahmatan lil alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam. Bersyukur adalah kerja menghasilkan karya untuk kelebihbaikan.
Bersyukur adalah ikhtiar
produktif. Semakin produktif dengan ide dan karya yang menginspirasi orang lain akan meningkatkan multiplier effect dari produktivitas kita. Inilah asal muasal kemajuan. Kemajuan akan tercipta mana kala semua orang membuat foot print yang menyejarah dan menginspirasi, yang berdampak pada munculnya foot print-foot print baru yang terus menggelinding ibarat bola salju yang makin membesar dan membesar. Akhirnya kita pun merasakan nikmat dari hasil foot print-foot print orang lain yang terus menggelinding dan membesar tersebut. Disinilah, kita makin menyadari bahwa semakin banyak memberi maka akan semakin banyak menerima. Bagi kita, semakin banyak mengamalkan ilmu maka akan bertambah ilmu kita. Tentu premis ini mensyaratkan mentalitas pembelajar bagi orang berilmu. Orang berilmu tidak statis tapi dinamis karena terus belajar dan belajar mencari ilmu.
Kemajuan itu takdir, dan takdir kemajuan terjadi karena sebuah proses dari kerja akal kita yang merupakan anugerah Allah SWT. Allah SWT itu Maha Berkehendak dan apapun bisa terjadi kalau Allah mengatakan Kun Fayakun. Namun Allah pada saat yang sama juga menghargai proses, itulah yang disebut Sunatullah. Man jadda wajada, barangsiapa bersungguh-sungguh maka akan mendapatkan kemajuan. Kemajuan adalah hasil sebuah proses kerja akal budi dan nurani kita.
Proses kerja adalah kontekstual. Ada dimensi ruang dan waktu yang harus diperhitungkan. Karena konteks zaman dulu berbeda dengan sekarang. Karena itu kekuatan syukur kita juga sangat tergantung pada pemahaman kita tentang konteks zaman baru ini. Pemahaman yang baik tentang konteks kekinian mestinya membuat proses kerja sebagai tindakan syukur kita lebih memberikan impact yang makin berarti. Disinilah kita akan punya andil pada kemajuan. Kita akan punya andil pada perubahan. Kita akan punya andil pada munculnya sejarah baru dan peradaban baru. Inilah mimpi kita bersama. Yaitu, menjadi rahmat bagi seluruh alam, yang dalam bahasa kekinian artinya menjadi trend setter perubahan.
Sekali lagi, pertambahan usia harus kita maknai sebagai pertambahan produktivitas dan impact dari tindakan syukur kita. Semoga dengan pertambahan usia, maka hidup kita makin berarti. Dan semua hasil dari tindakan syukur kita yang berarti ini akan menjadi bekal penting ketika suatu saat kita harus berjumpa kehadirat Allah Swt sebagai bentuk pertanggungjawaban atas atas nikmat dan anugerah dunia yang luar biasa ini.
Renungan kecil ini kita tutup dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu),” (HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud z. Lihat Ash-Shahihah, no. 946).
Goettingen, 17 September 2019
Selamat Dies Natalis IPB ke 56 hari ini, 1 September 2019. Kita bersyukur usia kita telah bertambah yang tentunya prestasi pun harus bertambah. Setiap detik pertambahan usia adalah kesempatan pertambahan prestasi. Eksistensi kita di masa depan sangat tergantung dari utilisasi perdetik pertambahan waktu kita itu. Eksistensi bisa tumbuh linier, bisa juga tumbuh eksponensial, tapi bisa juga "nyungsep". Semua tergantung dari kualitas utilisasi waktu kita. Kalau waktu kita anggap sebagai kesempatan untuk tumbuh berkembang maka tak ada jalan lain selain day to day thinking dan bertindak cerdas tangkap peluang. Sementara kalau pertambahan waktu kita anggap sebagai beban maka yang ada adalah kecemasan setiap saat. Ini persis dengan cemasnya saat 2×15 menit perpanjangan waktu pertandingan sepakbola karena lebih ketakutan kebobolan gol dari pada optimisme untuk justru menambah gol.
Eksistensi IPB dulu hingga saat ini diuntungkan dengan orang-orang di dalamnya yang memanfaatkan pertambahan waktu dengan sangat baik dan sikap proaktif. Kalau kita pelajari perjalanan IPB selama ini sejak berdirinya tahun 1963, ada tiga faktor penyebab suksesnya IPB, yaitu INSPIRASI, INOVASI, dan INTEGRITAS.
Pertama, INSPIRASI telah menjadi penciri IPB karena banyak ide IPB dalam bidang pendidikan dan pertanian yang merangsang berbagai pihak untuk mengadopsi atau mengembangkan lebih lanjut. Ide seleksi masuk IPB tanpa tes adalah yang monumental, yang kemudian diadopsi secara nasional dengan nama PMDK dan lalu sekarang bernama SNMPTN. Begitu pula ide bimbingan massal yang menjadi program nasional di era Orde Baru sehingga kita mencapai swasembada beras 1984. Pemikiran pembangunan ala Sajogyo juga mewarnai pembangunan pedesaan di Indonesia. Inspirasi adalah fungsi dari kreativitas berpikir. IPB bisa terus menginspirasi karena kreativitas berpikir yang bisa tumbuh berkembang di lingkungan akademik kampus yang kondusif. Ide-ide yang menarik dan unik menjadikan orang lain tertarik untuk mengembangkan lebih jauh. Inilah yang dimiliki para pendahulu dan senior IPB, yakni kemampuan menginspirasi.
Kedua, INOVASI adalah proses pemanfaatan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk barang atau jasa, proses, atau sistem yang baru, yang memberikan nilai tambah penting. Inovasi IPB sangat banyak. Dalam inovasi produk kurun waktu 2008-2018 ada lebih dari 450 inovasi yang prospektif dan memberikan kontribusi 39.6% dari total Inovasi paling prospektif menurut penilaian Business Innovation Center (BIC). Inovasi kelembagaan juga banyak, salah satunya Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). Inilah yang membuat IPB dalam tiga tahun ini selalu mendapatkan Anugerah Widyapadhi dari Menristekdikti. Inovasi IPB tersebut menjadi modal IPB untuk berperan di masyarakat. IPB bisa besar seperti sekarang ini karena inovasi-inovasi nya yang bermanfaat, baik untuk pemerintah, industri maupun masyarakat.
Ketiga, INTEGRITAS yang berisi kejujuran, kedisiplinan, tanggungjawab, dan komitmen menjadi penciri alumni IPB. Integritas menjadi pilar penting dalam membangun sinergi IPB dengan berbagai pihak.Integritas ini kemudian melahirkan trust, yang merupakan pilar penting modal sosial. Artinya, kepercayaan publik kepada IPB didasarkan pada integritas orang-orang di dalamnya, dan di internal IPB pun akhirnya tercipta modal sosial yang kuat. Dengan modal sosial yang kuat tersebut maka inovasi-inovasi pun bermunculan lebih lancar.
Jadi ketiga faktor tersebut sebenarnya terkait satu sama lain. Pertanyaan sekarang adalah bagaimana konteks baru inspirasi, inovasi dan integritas IPB di saat kita memasuki era baru VUCA (Volatility, uncertainty, complexity, ambiguity) akibat Revolusi Industri 4.0.
VUCA memang bisa membuat kita "fragile", tapi bisa membuat kita "agile" kalau VUCA kita artikan dengan Vision, Understanding, Clarity, dan Agilility. Kita harus punya visi dan future mindset, dan lalu mampu menghadirkan masa depan ke dalam pikiran dan langkah hari ini. Kata orang, "tommorrow is today", dan "future is now".
Volatility harus kita jawab dengan kecepatan. Uncertainty kita jawab dengan risk literacy karena ketidakpastian akan penuh dengan resiko. Complexity kita jawab dengan understanding terhadap multi variabel yang saling terkait dan ini pun butuh skill complex problem solving. Mochtar Riady pernah berpesan di Rumah Perubahan Rhenald Kasali: kita jangan hanya tahu pohon tapi harus tahu hutan. Artinya, kita harus tahu ekosistem dan hubungan tali temali variabel-variabel di dalamnya. Ambiguity kita jawab dengan clarity, informasi harus lengkap dan jelas.
Saat ini yang diperlukan adalah inspirasi-inspirasi baru untuk menghadapi VUCA dan Revolusi Industri 4.0. IPB akan makin eksis kalau kita mampu hadir dengan ide-ide baru yang menginspirasi. Kita telah memiliki Rencana Jangka Panjang 2045. Kita telah memiliki Renstra IPB 4.0 yang menjadi panduan strategi dan program IPB menghadapi era 4.0 . Kita telah memiliki konsep Agro Maritim 4.0 yang dapat menjadi acuan pembangunan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan kelautan di era 4.0. Kita memiliki roadmap riset Agro Maritim 4.0 yang menjadi arah riset dan inovasi IPB. Kita telah memiliki kurikulum 2020 yang responsif terhadap era 4.0. Apakah pemikiran-pemikiran IPB tersebut sudah cukup menginspirasi?
Pada saat saya diundang FAO memaparkan gagasan IPB tentang digital agriculture, tidak sedikit orang apresiasi dengan kesiapan konsep IPB untuk pembangunan pertanian dunia ketiga. Begitu pula saat puluhan kesempatan menjadi pembicara seminar internasional dan nasional tentang 4.0 orang pun menyebut paparan yang menginspirasi. Namun, apa pun kata orang tentang inspirasi IPB, sebenarnya masih di tingkat permukaan. Hal ini karena yang sebenarnya ditunggu publik adalah inovasi konkrit selaras dengan era 4.0 yang bermanfaat, baik inovasi produk atau jasa, inovasi kelembagaan maupun inovasi sistem. Inovasi konkrit adalah inovasi yang benar-benar telah dirasakan hasilnya dan membawa efek pertumbuhan eksponensial.
Karena itu kita harus menjadikan ini sebagai momentum untuk membuktikan bahwa IPB selalu hadir dan eksis di setiap titik perubahan. Prestasi masa lalu IPB tak bisa lagi membantu reputasi kita manakala kita tak mampu memberikan kontribusi konkrit saat ini dan masa mendatang. Kita tak bisa lagi bernostalgia dengan membanggakan kisah masa lalu. Orang tidak akan lagi menganggap prestasi masa lalu sebagai keberhasilan kita. Sebaliknya orang menanti inovasi-inovasi baru dan prestasi-prestasi baru karena kita berada di era baru. Kita adalah pemilik hari ini dan pemilik masa depan. Orang pun menanti prestasi kita hari ini dan prestasi masa depan. Pendahulu kita memberi added value di eranya. Apakah kita sudah memberi added value di era kita yang baru ini?
Alhamdulillah kita baru saja Juara 2 Pimnas 2019. Kita dapat anugerah Widyapadhi dan Anugerah WidyaKrida dari menristekdikti. Kita dapat Gold Winner Pelayanan Informasi publik. Kita dapat juara 1 dan 2 mahasiswa berprestasi nasional. Kita di urutan 3 Perguruan tinggi terbaik di Indonesia 2019. Semua itu kita dapatkan dalam bulan Agustus 2019 ini. Kita pun masih top 100 world university ranking QS by subject Agriculture & Forestry.
Tentu kita bersyukur dengan segudang penghargaan tersebut. Namun kita tidak boleh terlena dan tidak boleh terlalu lama merasa nyaman di comfort zone ini. Prestasi-prestasi tersebut bukanlah akhir tapi ini adalah hanya modal penyemangat untuk menghasilkan inovasi-inovasi lebih dahsyat dan menyejarah. Hal ini karena kita masih punya dua agenda besar.
Pertama, bagaimana kita menghasilkan inspiring innovations untuk mempercepat transformasi masyarakat pedesaan ke arah smart society yang inklusif. Inovasi-inovasi baru harus segera hadir untuk menyelesaikan complex problems yang ada. Karena itu kita harus dekat dengan kenyataan agar kita tahu masalah di lapang. Kita pun harus update dengan teknologi 4.0 agar solusi mengatasi masalah pun lebih presisi dan efektif. Mahasiswa pun harus sering turun desa untuk menginspirasi anak-anak desa agar punya mimpi dan visi masa depan. Karena itulah KKN di IPB bersifat wajib karena kita ingin mahasiswa bisa menginspirasi anak-anak desa tersebut, sekaligus mampu memetakan masalah riil dan memecahkannya secara kolaboratif dalam kerangka smart village. Agenda ini penting agar kita bisa segera mengejar ketertinggalan dari negara maju, setidaknya dalam bidang pertanian.
Kedua, bagaimana kita menghasilkan inovasi yang menginspirasi masyarakat global. IPB telah menentukan tema kerja 2023 yaitu local-global connectivity. Artinya, inovasi yang dihasilkan IPB harus menembus reputasi global. Indonesia kaya akan biodiversity dan culture diversity. Inilah modal untuk menghasilkan inovasi khas tropis yang tidak dimiliki oleh ilmuwan asing. Kita lah yang lebih berkesempatan menguak realitas tropis ini yang hasilnya bisa mewarnai dunia. Saatnya kita menjadi produsen teori dan inovasi, dan bukan sekedar konsumen.
Keseriusan dan ketajaman kita membaca peluang serta konsistensi bermental pembelajar akan menentukan bisa tidaknya kita memainkan dua agenda besar ini. Agenda inipun juga menuntut kita untuk membangun sinergi dan kolaborasi. Ternyata kesuksesan kolaborasi juga ditentukan oleh sejauhmana kredibilitas kita dan kredibilitas ini sangat ditentukan oleh profesionalitas dan integritas kita. Karena itu sekali lagi INSPIRASI, INOVASI, dan INTEGRITAS menjadi satu kesatuan tak terpisah.
Bila dua agenda besar terwujud maka IPB akan menjadi milik dunia dan inilah bukti bahwa IPB menjadi bagian dari sejarah dunia. Semoga dengan moto baru IPB "inspiring innovations with integrity" memotivasi kita untuk terus membuat sejarah baru.
Hari ini 1 September 2020 adalah Dies Natalis IPB ke 57. Terima kasih kepada Bapak Presiden, para Menteri, Gubernur BI, Pemkab dan Pemkot Bogor, para Rektor, para alumni dan para mitra IPB yang telah memberi atensi dan ucapan selamat. Di awal dan penghujung acara Dies Natalis IPB tersebut, diperdengarkan lagu yang saya ciptakan tahun 2019 khusus menyambut Dies Natalis IPB ke 56, berjudul "Kampus Terbaik". Lagu Kampus Terbaik tidak eksklusif untuk IPB, tetapi berlaku untuk kampus manapun. Isinya universal. Mengapa saya ciptakan lagu tersebut?
Lagu ini berisi pesan bahwa kampus terbaik selalu penuh dengan inspirasi, inovasi, dan integritas (3I). Tiga kata tersebut adalah modal untuk memberi terbaik untuk negeri, dunia, umat manusia dan alam semesta. Ada dimensi manfaat yang harus diberikan. Namun demikian kampus harus menjadi bagian dari masa depan sehingga selalu responsif terhadap perubahan. Karena itu kampus harus menghadirkan masa depan dalam langkah dan pikiran hari ini, agar kita selalu terdepan. Bekal ilmu dan jiwa pengabdian adalah modal kita menghadapi deras arus zaman yang takkan tertahan. Menghadapi masa depan harus bermental pembelajar lincah yang terus berpacu dalam keunggulan. Terus melangkah dan maju melangkah. Begitulah isi lagu Kampus Terbaik.
Bernyanyi, berkata, dan menulis yang berisi pesan positif adalah doa. Menjadi kampus terbaik adalah doa. Mulutmu harimaumu, kata pepatah. Apa yang sering kita ucapkan itulah yang akan menjadi kenyataan. Karena itu sering-seringlah mengucapkan hal-hal baik dan positif. Hal positif yang sering kita ucapkan adalah energi positif untuk menyempurnakan kehidupan kita.
Mimpi dan doa itu gratis. Tak ada resiko apapun bermimpi dan berdoa setinggi langit. Bahkan Bung Karno mengatakan, "Bermimpilah setinggi langit. Kalau pun jatuh, engkau akan jatuh diantara diantara bintang-bintang". Masalah bangsa ini jangan-jangan karena untuk bermimpi pun kita takut. Inferiority complex seperti inilah yang mungkin menghambat kita maju. Bangsa-bangsa maju juga hidup 24 jam dan diberi jiwa raga seperti kita. Bedanya mereka punya mimpi dan berusaha mewujudkan mimpinya itu dengan strategi dan kerja keras. Lahirlah banyak inovasi yang mengubah dunia.
Sikap inferior ini harus kita pupus. Bergembiralah melihat prestasi orang lain. Janganlah melulu melihat celah masalah orang lain. Banggalah dengan apa yang kita miliki dan kita capai. Kadang ada orang yang selalu underestimate terhadap orang lain, juga terhadap dirinya, kelompoknya, institusinya, bahkan bangsanya sendiri. Nampaknya bagi mereka yang inferior, suatu hal yang aneh kalau tiba-tiba kita menjadi maju. Seolah-olah kita ditakdirkan sebagai follower dan tertinggal selamanya. Tidak ada keberanian untuk menjadi yang terdepan. Mungkin tidak sedikitpun terbayang dalam mimpinya untuk menjadi orang yang maju. Inilah ciri-ciri mental inferior yang harus kita pupus.
Mengapa kita punya inferiority complex? Orang sering menjawab karena penjajahan 350 tahun. Tetapi mestinya jawaban hari ini adalah karena kita tidak berani menghentikan inferiority complex tersebut. Penjajahan adalah masa lalu dan janganlah selalu meratapi masa lalu itu. Yang kita hadapi adalah hari ini dan masa depan. Yang diperlukan hari ini dan masa depan adalah karya besar. Jadi tidak ada cara lain selain mengubah mindset kita agar selalu membuat karya besar. Karya besar hanya bisa lahir dari mimpi besar. Mimpi besar hanya bisa terwujud dengan usaha ekstra besar, dan dimulai dari langkah kecil yang kita mampu. Yang penting adalah mulai melangkah.
Honda mengatakan bahwa sebagian orang bermimpi untuk lari dari kenyataan, sebagian lagi bermimpi untuk mengubah kenyataan. Kita pilih yang kedua, yakni bermimpi untuk mengubah kenyataan.
Masuk ke dalam peringkat 531+ dunia versi QS awalnya hanyalah mimpi. Mendapat skor tertinggi dalam klasterisasi Perguruan Tinggi 2020 juga awalnya sebuah mimpi. Mimpi terwujud karena kita melangkah bersama. Mimpi adalah mengerakkan, bukan sekedar melamunkan keadaan ideal.
Apa mimpi kita selanjutnya? Peringkat bukanlah tujuan utama kita. Rumus kampus terbaik adalah yang mampu memberi yang terbaik. Ada nilai tambah yang kita berikan untuk negeri, masyarakat dan kehidupan ini. Ada inovasi dan lulusan yang dirasakan manfaatnya. Ada ide dan pemikiran yang menggerakkan kemajuan. Bangsa besar akan selalu tercipta berkat adanya kampus-kampus terbaik yang memiliki karya besar. Stanford University punya 'Silicon Valley' dengan inovasi yang dahsyat. IPB punya 'Aneka Inovasi Pangan' yang keren. ITB memiliki 'Inovasi Katalis' dan ITS menghasilkan 'Motor Gesit' yang top. Banyak kampus di Indonesia terus bergerak maju.
IPB sejak 2008-2019 memberikan kontribusi 501 inovasi atau 39% inovasi nasional menurut Business Innovation Center (BIC). Ada 57 varietas unggul IPB, beberapa sudah beredar di pasar seperti IPB 3S di 26 provinsi, Nanas, dan Pepaya Calina di 126 kab/kota dan 11 negara. Ada rumpun ayam unggul D1,D2, dan D3. Ada inovasi produk diversifikasi pangan seperti mie dari jagung, mie wortel, mie bayam merah, dan beras analog dari sagu, ubi, dan jagung. Ada juga biskuit dari lele. Ada inovasi biomaterial seperti helm dari limbah sawit. Inovasi biofarmaka, energi dan alsintan juga banyak. Era 4.0 juga melahirkan inovasi Precipalm, Apartemen Kepiting 4.0, smart tractor, dan robotik deteksi kematangan buah, dan masih banyak lagi. Adanya Science Techno Park IPB akan terus menggerakkan inovasi hingga terasa manfaatnya oleh masyarakat.
Tak kalah pentingnya adalah inovasi sosial yang menggerakkan masyarakat. Ada Sekolah Peternakan Rakyat di 22 kabupaten dan 11 provinsi, teknologi padi IPB Prima, Precision Village, One Village One CEO, kemitraan di Agribusiness Technology Park, Tani Center dan lainnya.
Kita harus bangga dengan karya-karya kita. Namun, dunia terus berubah. Inovasi kita juga harus tumbuh dan berubah. Mari terus berinovasi dengan daya manfaat yang lebih besar lagi. Kuncinya adalah kreativitas, future mindset, kolaborasi, dan berani bermimpi. Mimpi besar akan menghasilkan inovasi besar. Tebarlah selalu inspirasi. Jadikan pertemuan dan silaturahmi sebagai arisan inspirasi. Deras Inspirasi akan membuat kita optimis dan percaya diri. Inilah modal untuk terus bergerak maju.
Kata Abraham Lincoln, “the best way to predict the future is to create it”. Menciptakan masa depan hari ini hanya bisa terjadi kalau kita punya inspirasi dan inovasi. Keduanya berasal dari sebuah mimpi. Mimpi tidaklah muncul saat kita tidur, tapi saat kita sadar. Termasuk saat kita sadar dan sedang bernyanyi lagu Kampus Terbaik.
Dirgahayu IPB ke 57.
Jayalah IPB kita.
1 September 2020
Idul Fitri 1441 H di masa Pandemi Covid-19 memiliki makna khusus. Hal ini karena Pandemi Covid-19 akan menciptakan normal baru yang memerlukan daya adaptasi kita. Idul Fitri menjadi istimewa saat ini karena kemudian dikaitkan dengan relevansinya untuk memasuki tatanan hidup baru tersebut. Idul Fitri menghasilkan status “fitrah” atau kesucian pada diri kita, dan pertanyaannya adalah bagaimana status fitrah tersebut dapat menjadi modal untuk proses transformasi menuju dan mengisi normal baru?
Fitrah
Rasulullah Saw pernah bersabda, “Kamu harus bersikap sabar kepada orang yang membencimu, memaafkan orang yang berbuat zalim kepadamu, tetap memberi kepada orang yang memusuhimu dan juga menghubungi orang yang telah memutuskan silaturahmi denganmu"(HR. Thabrani). Hanya orang yang berhati suci dan bening yang bisa menuruti perintah Rasulullah tersebut. Siapa orang yang berhati suci tersebut? Yaitu orang yang berhasil mendapatkan fitrah atau kesucian selama bulan Ramadhan karena mendapat ampunan dari Allah Swt, kemudian mendapat dan memberi maaf sehingga bisa “restart” ulang hubungannya dengan sesama.
Bila kita renungkan fitrah mencerminkan hasil “install ulang” spiritual kita selama bulan Ramadhan. Ampunan Allah Swt mendasari kesucian diri. Diri ini bersih seperti saat lahir di dunia, baik bersih fisik dan bersih batin. Secara fisik kita kembali ke “fitrah” karena puasa adalah intrumen terbaik untuk detoks kesehatan, yang telah diakui dunia medis. Secara batiniah, kembali ke fitrah adalah bersihnya hati dan pikiran sehingga kebenaran ilahiah mudah masuk dan melekat. Kebenaran inilah yang akan memandu kehidupan kita, termasuk dalam merangsang untuk terus menemukan kebenaran ilmiah.
Jernihnya hati dan pikiran ini diwujudkan dengan referensi pada sosok kesucian Rasul yang memiliki sejumlah identitas yaitu: Shiddiq (benar-jujur), fathanah (cerdas-pembelajar), amanah (dapat dipercaya-kredibel), dan tabligh (komunikatif-inspiratif). Bagaimana relevansi 4 identitas tersebut pada transformasi sosial?
Daya Transformasi
Shiddiq atau jujur mencerminkan integritas, karena orang Shiddiq memegang komitmen etik yang kuat. Fathanah mencerminkan kompetensi profesionalitas atau kapabilitas. Kita disebut semakin fathanah kalau kita mampu aktif sebagai pembelajar yang tangguh, yang terus menghasilkan inovasi-inovasi monumental yang bermanfaat dan adaptif terhadap perubahan. Fathanah juga tercermin dari sensitivitas kita pada sinyal-sinyal perubahan. Hal ini karena sinyal perubahan hanya bisa ditangkap oleh orang-orang yang cerdas dan visioner.
Dulu, setiap Rasul diturunkan pada umat yang selalu bermasalah, sehingga para Rasul mendapat tugas untuk melakukan perubahan dengan membangun peradaban baru. Untuk memetakan agenda perubahan dan merumuskan visi masyarakat baru tersebut tentu memerlukan kecerdasan dan ketajaman visi tersendiri. Inilah mengapa fathanah harus dimiliki seorang Rasul, aktor utama perubahan. Perubahan harus dilakukan dengan pengetahuan dan oleh aktor yang berpengetahuan (fathanah).
Selanjutnya shiddiq sebagai dasar pembentuk integritas ditambah dengan fathanah sebagai dasar penguat kapabilitas akan menghasilkan identitas baru yaitu amanah atau kredibilitas. Jadi, integritas dan kapabilitas harus menyatu untuk membentuk kredibilitas, yakni kondisi yang menunjuk pada tingkat kepercayaan orang lain kepada kita. Oleh karena itu, kita akan mendapat status amanah (dapat dipercaya) atau kredibel bila kita memiliki integritas dan kapabilitas (kompetensi dan profesionalisme). Selanjutnya, kredibilitas ini akan bermuara pada dua hal.
Pertama, kredibilitas tersebut akan menjadi basis bagi terbentuknya basis silaturahmi dan jejaring yang baik, yang selanjutnya merupakan modal dasar suksesnya kolaborasi. Kolaborasi ini adalah cara yang bisa ditempuh untuk memaksimalkan inovasi atau ikhtiar perubahan. Inilah yang disebut modal sosial karena kuatnya jejaring dan rasa saling percaya antar kita.
Penguatan jejaring dan silaturahmi sebenarnya bisa diraih dari Tradisi halal bihalal di Indonesia. Hal ini karena orang yang berhalal bihalal adalah orang yang telah berpuasa sehingga relatif kesuciannya meningkat dan pada saat yang sama ada proses bermaafan yang dapat menormalisasi silaturahmi. Jadi, halal bihalal adalah salah satu instrumen trust building.
Betapa indahnya hidup ini apabila hidup penuh saling percaya, mudah saling memaafkan, tanpa dendam, tanpa dengki, tanpa curiga, tanpa prasangka buruk, dan tanpa rasa bermusuhan. Persatuan pun dengan mudah diciptakan, sebagaimana pasca Hijrah Rasulullah SAW menyatukan kaum Muhajirin dari Mekah dan kaum Anshor dari Madinah. Jejaring Muhajirin dan Anshor ini adalah modal sosial bagi pembangunan peradaban di Madinah.
Kedua, kredibilitas akan menjadi basis bagi strategi komunikasi. Dengan status sebagai orang yang amanah atau kredibel, maka semakin mudah bagi kita untuk berkomunikasi menyampaikan pesan-pesan inspiratif (tabligh), yakni pesan-pesan yang menggugah publik berpikir dan bertindak untuk perubahan yang lebih baik. Disinilah tergambar bahwa tabligh tidaklah berdiri sendiri melainkan hasil dari akumulasi integritas, kapabilitas, dan kredibilitas.
Karena itu sebenarnya proses perubahan sosial yang diinisiasi setiap Rasul pada jamannya mensyaratkan aktor-aktor yang berintegritas, memiliki kompetensi profesional, memiliki kredibilitas, serta memiliki kemampuan menginspirasi agar publik tergerak turut dalam arus perubahan.
Dengan demikian kita semakin memahami bahwa 4 identitas Rasul itu merupakan satu kesatuan sebagai modal untuk proses transformasi. Keberhasilan sebuah transformasi tersebut akan sangat tergantung dari sejauhmana para aktor penggeraknya mencerminkan 4 identitas tersebut.
Jadi, fitrah yang kita raih bukanlah kondisi statis melainkan harus menjadi daya transformasi baru. Konteks transformasi hari ini adalah bagaimana membangun kekuatan memasuki dan mengisi normal baru. Daya transformasi ini akan membuat kita menjadi bagian dari sejarah normal baru ini. Kemampuan untuk terlibat dalam proses sejarah inilah yang akan menentukan masa depan dan kejayaan kita.
Bogor, 29 Mei 2020
Arif Satria
(Pokok-Pokok Sambutan Rektor IPB pada Halal Bihalal IPB 29 Mei 2020)
Marhaban Ya Ramadhan. Bagaimana kita memaknai hikmah puasa Ramadhan secara multi dimensi? Setidaknya ada empat dimensi penting hasil menjalankan ibadah puasa Ramadhan baik pada level individual maupun sosial yaitu: (1) dimensi spiritual intelligence , (2) physical intelligence , (3) emotional intelligence , dan (4) social intelligence.
PERTAMA, adalah dimensi spiritual intelligence , yang menekankan pentingnya hubungan ilahiah yang bersifat transendental. Landasan puasa Ramadhan adalah keimanan dan memang puasa diperintahkan hanya kepada orang-orang yang beriman sehingga bunyi QS Al Baqarah 183 adalah Yaa Ayyuhalladziina aamanu dan bukan yaa ayyuhal muslimun . Karena itu niat berpuasa pun mestinya berbasis pada keimanan. Sebagaimana Hadist Nabi yang mengatakan "Barangsiapa berpuasa karena iman dan ikhlas maka akan diampuni dosa2nya terdahulu".
Jadi iman menjadi modal utama puasa, dan puasa juga ditujukan untuk menambah keimanan. Dengan puasa maka modal iman akan terus bertambah. Mekanisme pertambahan keimanan tersebut tercermin dari tuntutan intensitas ibadah selama bulan Ramadhan : perbanyakan sholat sunnah, tadarus al quran, i'tikaf, dan dzikir. Tidak lain pertambahan keimanan ini adalah bagian dari proses menuju status taqwa, yakni status yang dikejar oleh setiap mukmin yang berpuasa. Karena status inilah yang tertinggi di mata Allah Swt.
KEDUA, dimensi physical intelligence , yang menekankan benefit orang berpuasa secara biologis. Secara biologis, berpuasa sangat menyehatkan karena puasa 30 hari secara tidak langsung merupakan aktivitas detox yang penting bagi tubuh kita. Ahli kesehatan dan gizi manapun menempatkan puasa sebagai aktivitas fungsional menunjang kesehatan tubuh. Namun demikian tubuh sehat bukanlah segalanya. Tubuh sehat adalah salah satu prasyarat agar jiwa juga sehat, sebagaimana pepatah di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Bagaimana puasa menumbuhkan jiwa yang sehat?
KETIGA, dimensi self control dan emotional intelligence. Hakikat puasa adalah pengendalian diri. Puasa melatih orang untuk mampu mengendalikan diri baik dalam aspek nafsu maupun emosi. Kontrol terhadap nafsu biologis makin dilatih, seperti pembatasan secara syariah tentang konsumsi makanan dan minuman. Kontrol terhadap nafsu ekonomis juga dilatih, seperti perintah perbanyakan sedekah.
Sementara itu kontrol terhadap emosi juga dilatih, seperti menahan marah, sabar, dan mampu mengelola emosi sehingga berdampak pada perilakunya terhadap orang lain. Inilah yang dimaksud dengan kuatnya emotional intelligence, yang menurut Cardon terdiri dari kuatnya self awareness, self management, empathy, dan relationship management.
Ujung dari kuatnya emotional intelligence adalah good interpersonal skill. Dengan demikian puasa melatih untuk mengelola emosi diri yang selanjutnya dapat menciptakan hubungan sosial yang baik. Menurut Stanley, good interpersonal skill ini salah satu faktor sukses kita.
KEEMPAT, adalah dimensi social intelligence bahwa orang yang berpuasa makin meningkat kecerdasan dalam membangun kehidupan sosial. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Emotional intelligence yang didapat dari puasa dapat menjadi bekal bagi menguatnya social intelligence. Namun ada sisi lain yang perlu dikaji dalam social intelligence ini, yakni tentang kepercayaan (trust).
Ada keyakinan orang berpuasa itu jujur. Karena memang puasa memaksa orang berkata benar dan melatih kejujuran. Secara individual, kejujuran akan berujung pada kesuksesan seseorang sebagaimana hasil penelitian Stanley yang menempatkan kejujuran sebagai faktor nomor satu dari 100 faktor penentu kesuksesan.
Sementara itu secara sosial, kejujuran berujung kepada terciptanya kepercayaan. Karena asumsi jujurnya orang yang berpuasa, maka pada bulan puasa secara umum tingkat kepercayaan orang lain kepada orang yang sedang berpuasa akan meningkat. Dengan semakin banyak orang berpuasa mestinya semakin banyak orang dapat dipercaya. Dengan semakin banyak nya orang yang dapat dipercaya maka semakin mencirikan terciptanya high trust society yakni masyarakat dengan rasa saling percaya yang tinggi. Inilah yang oleh Francis Fukuyama menjadi modal sosial penting bagi kemajuan bangsa.
Menurut Fukuyama bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki modal sosial tinggi, yakni high trust society seperti Jepang, Jerman dan negara maju lainnya. Dengan demikian puasa bisa memberi andil bagi terciptanya high trust society dan kemudian membuat bangsa menjadi lebih maju. Persoalannya adalah apakah suasana bulan puasa yang penuh dengan saling percaya tersebut dapat diteruskan pada 11 bulan berikutnya? Bila jawabannya ya maka tesis bahwa puasa dapat meningkatkan kemajuan bangsa akan terbukti.
Dimensi social intelligence yang diperkuat dengan kemampuan kita membangun trust society di atas, semakin diperkaya dengan spirit solidaritas sosial dengan memberi kepada orang membutuhkan. Puasa melatih orang untuk peduli sesama. Mekanisme zakat, infak, dan sedekah (ZIS) selama bulan puasa adalah instrumen utamanya. Ditambah lagi dengan mekanisme fidyah bagi yang tidak berpuasa karena alasan tertentu semakin memperlihatkan dimensi sosial puasa.
Dengan demikian puasa tidak saja memperkuat social intelligence dengan high trust society tetapi juga anti kesenjangan. Semangat anti kesenjangan ini akan makin efektif bila seluruh mekanisme ZIS terinstitusionalisasi dengan baik.
Dengan hikmah puasa pada empat dimensi di atas semoga semakin membuat kita yakin bahwa perintah puasa dapat menciptakan kita sebagai khoirunnaas atau sebaik-baik manusia. Empat dimensi itu adakah modal bagi kita untuk terus memberi manfaat untuk kehidupan bersama ini.
(Materi disampaikan pada Tausiyah Online Menjelang Ramadhan DKM Alhurriyah Kampus IPB Darmaga). Diedit dari naskah sebelumnya.
Bogor, 22 April 2020
Saat kita ditanya bekal apa yang sudah kita siapkan untuk menuju kematian? Maka kita akan mengatakan bahwa ibadah kepada Allah Swt secara intensif dan berkualitas akan menjadi bekal kita. Lalu apa lagi? Ternyata Rasulullah SAW dalam sebuah hadits sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah pernah mengatakan, "Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 (perkara) : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh ". Disinilah kita baru mengenal ada dua dimensi bekal, yaitu bekal ibadah (vertikal) dan bekal muamalah (horisontal). Bekal vertikal yang bersifat individual adalah produk dari hubungan dengan Allah (hablu minallah). Bekal horizontal yang bersifat sosial adalah produk hubungan dengan manusia (hablu minannaas). Hadits tersebut semakin memperkuat bahwa bekal horisontal pun juga penting, bahkan membuat bekal terus bertambah secara berkelanjutan (sustainable). Mengapa berkelanjutan? Karena bekal itu akan terus mengalir dan terakumulasi dengan bekal lain yang sudah kita bawa. Sampai kapan?
Tentu bekal akan terus mengalir selama kehidupan ini masih ada dan juga selama bekal tersebut memiliki daya manfaat tinggi untuk orang lain. Jadi singkat kata, bagi yang meninggal dunia ada bekal yang langsung dibawa, dan ada tabungan bekal yang masih ditinggalkan di dunia yang insya Allah nanti akan menjadi tambahan bekal di akhirat. Tabungan bekal yang suatu saat kita tinggalkan inilah yang kita sebut "legacy". Legacy adalah jejak-jejak kita di dunia yang memiliki daya manfaat untuk orang lain dan masyarakat. Hadits di atas mengajarkan kita untuk terus membuat legacy. Ada dua hal saja yang kita bahas. Pertama, amal jariyah adalah aksi menciptakan nilai tambah secara berkelanjutan (sustainable) , yaitu amal yang memiliki dimensi kemanfaatan baik jangka pendek, menengah dan panjang untuk masyarakat. Aktivitas wakaf, memberi sedekah, membuka atau memberi lapangan kerja, memberi beasiswa, mendirikan sekolah, tempat ibadah, membantu fakir miskin, dan seterusnya adalah bentuk amal yang berpotensi jariyah (mengalir).
Amal jariyah tidak selalu berdimensi finansial, bahkan menanam pohon pun bisa kita masukkan ke dalam daftar amal jariyah, karena memiliki nilai tambah secara ekologis. Amal jariyah juga bisa berdimensi non material seperti memberi ide, pemikiran, motivasi, dan tenaga, Bagi orang yang memiliki kekuasaan maka keputusan atau kebijakan bisa menjadi bentuk amal jariyah non-material mana kala memberi multiplier effect kemaslahatan kepada publik. Semakin banyak orang yang menerima manfaat dan semakin lama manfaat itu dirasakan, maka berarti nilai tambah yang diciptakan semakin berkualitas. Dengan melihat dimensi-dimensi amal jariyah tersebut, maka amal jariyah tidak dimonopoli oleh orang berduit saja. Siapa pun bisa berbuat amal, asal ikhlas dan memiliki daya manfaat untuk orang lain dan masyarakat.
Kedua, ilmu yang bermanfaat juga termasuk yang membuat bekal mengalir. Hal ini karena ilmu bisa menciptakan nilai tambah secara lebih masif, sistemik, dan membawa multiplier effect untuk perbaikan kehidupan, termasuk semakin mendekatkan kita pada Yang Maha Berilmu. Ilmu disini tidak semata ilmu pengetahuan formal tetapi juga tacit knowledge yang dimiliki siapapun karena pengalamannya. Peradaban di dunia tercipta karena : (a) ada orang yang berilmu, (b) ada orang yang selalu mentransfer ilmu ke orang lain, dan (c) ada orang yang selalu mengamalkan ilmunya. Pendidikan adalah institusi untuk membuat ilmu makin berkembang, karena pertukaran ilmu terus terjadi. Kedekatan antara pendidikan dan kehidupan nyata akan memberi kesempatan agar ilmu dapat diamalkan sehingga membuat ilmu makin bermanfaat. Peradaban makin berkembang karena meningkatnya daya manfaat ilmu yang kita amalkan.
Karena itu kita bayangkan betapa besar potensi tabungan bekal dosen, guru, dan orang berilmu lainnya kalau kita terus menebar ilmu yang bermanfaat. Mengisi kuliah dengan sepenuh hati, ikhlas mencurahkan ilmunya kepada mahasiswa sehingga mahasiswa makin berilmu, menulis artikel dan buku yang menginspirasi, menghasilkan inovasi yang mengubah dunia, atau mendampingi desa dengan inovasi-inovasi, merupakan contoh kecil aksi membuat ilmu makin bermanfaat. Saat pandemi Covid-19 ini, tantangan kita semua untuk bisa menciptakan legacy baru, berupa ilmu yang bermanfaat untuk mengatasi Covid-19.
Lalu legacy apa yang akan kita ciptakan sehingga menjadi bekal pahala yang terus mengalir sampai kehidupan ini berakhir? Sekali lagi, kita mesti siapkan amal jariyah yang memiliki daya manfaat jangka panjang, dan pada saat yang sama kita amalkan ilmu kita untuk transformasi kehidupan lebih baik. Amal dan ilmu itulah pilar peradaban, dan kita semua dilahirkan di muka bumi ditugaskan untuk membangun peradaban dunia yan lebih baik. Peradaban yang baik adalah sebuah ekosistem kebahagiaan. Bukankah kita selalu berdoa untuk kebahagiaan dunia dan akhirat?
Mari kita berkolaborasi menciptakan legacy baru. Rasanya makin sulit bagi kita menciptakan legacy baru yang bernilai tambah tinggi secara sendirian. Mari saling membantu, bahu membahu, dan gotong royong untuk proyek legacy sehingga kebahagiaan di dunia dan akhirat bisa kita rasakan secara kolektif.
Bogor, 17 April 2020
Ketika SMP saya pernah membaca buku kecil karya Abul A'la Al Maududi yang menceritakan tentang kematian. Buku itulah yang menginspirasi saya untuk menulis refleksi ringan ini. Kehidupan adalah ibarat sebuah taman, yang berisi aneka tanaman dengan komposisi beragam, tergantung pada pencipta taman itu. Supaya taman terlihat indah, kadang ada tangkai yang harus dipotong. Kadang dedaunan juga harus dipangkas. Kadang ada tanaman berbunga yang harus dicabut. Mengapa tanaman berbunga indah harus dicabut sementara rumput tetap dibiarkan tumbuh ?
Kalau kita menjadi bunga, barangkali pertanyaan seperti itulah yang akan muncul. Sebagai bunga, kita tidak bisa melihat komposisi tanaman dalam taman itu. Sebagai rumput kita pun tak pernah tahu mengapa masih dipertahankan. Tentu hanya sang pencipta taman itu yang paling memahami komposisi terbaik. Sebuah komposisi terbaik tidak selalu disumbang oleh bunga. Ternyata dalam konteks sebuah komposisi, rumput pun bisa merupakan kontributor keindahan.
Pencipta taman bisa menikmati keindahan taman ketika melihat dari atas, dengan sudut pandang luas. Sementara bunga dan rumput tak pernah mampu melihat dari atas, karena terlalu sempitnya sudut pandang yang mereka miliki dan posisinya yang selalu di bawah melekat dengan tanah. Tuhan lah pencipta taman kehidupan. Tuhan lah yang tahu komposisi terbaik sebuah taman kehidupan. Kita semua sebagai bagian kecil unsur pembentuk taman tidak pernah mampu membayangkan desain taman seperti apa yang sedang Dia rancang untuk kita.
Yang bisa kita lakukan adalah percaya bahwa Tuhan Maha Tahu tentang komposisi terbaik untuk kita. Kepercayaan inilah sebagai dasar keikhlasan kita untuk menerima keputusan apapun dari Sang Pencipta taman kehidupan. Termasuk keputusan bahwa ada beberapa bunga yang ternyata harus diambil terlebih dahulu meninggalkan kita semua. Yang harus kita yakini adalah bahwa Tuhan mengambilnya karena cinta dan pada saat yang sama kita harus yakini pula bahwa taman yang ditinggalkan bunga-bunga itu adalah taman dengan komposisi baru terbaik yang Dia rancang. Prasangka baik bahwa Tuhan sedang membuat desain terbaik itulah yang harus terus kita jaga. Terus berikhtiar dilandasi sikap percaya, ikhlas, dan berprasangka baik pada keputusan Allah Swt itulah yang mestinya menjadi modal ketenangan dan kebahagiaan hidup di dunia.
Bogor, 11 April 2020
Saya teringat pesan ringan tentang syukur dalam sebuah kultum Ust Syafii Antonio usai sholat Subuh di Mesjid Andalusia setahun yang lalu. Kita bersyukur ketika mendapat rezeki yang banyak dan jabatan yang baik. Itulah kenikmatan dunia yang secara manusiawi kita inginkan. Harta dan tahta adalah nikmat "tangible", sebuah nikmat material yang nyata. Namun sudahkah kita selalu mensyukuri nikmat-nikmat lain yang "intangible"? Nikmat "intangible" adalah nikmat Allah yang sering kita anggap tidak nyata sehingga sering kita lupakan. Apakah kita selalu bersyukur diberi otak yang sehat sehingga daya ingat, kemampuan berpikir, dan fungsi perintah kepada seluruh organ tubuh berjalan baik? Ketika otak mengalami cedera amat sedikit saja akan bedampak sistemik. Peredaran darah yang lancar adalah anugerah yang luar biasa. Bayangkan kalau sedikit saja tersumbat, apa yang terjadi? Kita diberi nikmat mata untuk penglihatan. Kita diberi nikmat telinga untuk pendengaran. Kita diberi nikmat mulut untuk bicara dan juga menjadi pintu makan minum. Kita diberi hidung untuk penciuman. Itu semua adalah adalah kenikmatan yang tak ternilai harganya, namun seringkali kita menganggap biasa-biasa saja.
Namun ketika kita sehat walafiat seringkali kita lupa bahwa seolah-olah itu semua bukanlah sebuah nikmat. Seolah tubuh yang secara biologis sempurna fungsinya adalah hal yang biasa saja, bukan nikmat yang luar biasa. Kita akan merasakan semua itu menjadi nikmat yang luar biasa itu pada saat kita sakit. Pada saat sakit, Kita baru merasakan bahwa sehat itu adalah anugerah yang tak ternilai harganya. Apakah kita harus menunggu sakit baru dulu untuk merasakan nikmatnya sehat?
Kini Covid-19 menghantui kita semua. Kita semua menjadi paranoid. Kita mati-matian mencari info sana-sini tentang gejala Covid-19. Badan meriang sedikit saja kita panik. Mungkin bencana ini adalah cara Allah Swt mengingatkan kita betapa kesehatan itu adalah kenikmatan "intangible" yang harus selalu kita syukuri. Mungkin ini adalah cara Allah Swt untuk mengingatkan bahwa kesehatan adalah nikmat yang tak ternilai harganya. Diberi sakit ringan mungkin itu adalah peringatan ringan. Diberi pandemi Covid-19 mungkin adalah peringatan besar agar kita semakin mensyukuri kenikmatan yang "intangible" ini. Kita diperingatkan mungkin karena kita selama ini fokus memperhatikan nikmat-nikmat "tangible" saja.
Semoga kita kembali menjadi orang-orang yang bersyukur dan selalui dianugerahi kesehatan. Amin YRA
Bogor, 8 April 2020
Kepada seluruh Civitas akademika IPB, saya terus mendoakan agar kita semua selalu dalam kondisi sehat walafiat, dan kita semua menjadi bagian dari solusi atas masalah Covid-19 yang saat ini melanda dunia. Kita doakan saudara-saudara kita yang sedang kurang sehat segera sehat kembali, semoga krisis Covid-19 segera berlalu dan kita semua dapat mengambil hikmah dari semua ini. Kesehatan adalah modal biologis terpenting yang membuat kita bisa terus berkarya menjadi orang yang bermanfaat.
Saat ini kita memang dalam kondisi darurat sehingga terpaksa harus menjalankan Work From Home (WFH) IPB sejak 17 Maret 2020. WFH adalah suatu kebiasaan baru, dan saya menyampaikan apresiasi serta ucapan terima kasih kepada seluruh pimpinan unit kerja, dosen dan tendik yang terus menjalankan tugas mulia meski dari rumah. Khusus kepada petugas di bidang kesehatan, sistem informasi, keamanan, dan sarana prasarana, laboratorium, dan para tendik di beberapa unit kerja yang sebagian masih bertugas di dalam kampus patut kita apresiasi dan sampaikan terima kasih sebesar-besarnya. Sebagian masih menjalankan tugas di kampus agar keamanan kampus tetap terjaga dan memastikan fasilitas serta fungsi pelayanan berjalan dengan baik. Salah satu isu WFH adalah bagaimana meningkatkan produktivitas dan efektivitas waktu saat ada di rumah secara penuh selama lebih dari 15 hari ini. Karena itu ijinkan saya berbagi pemikiran yang sebenarnya merupakan nasihat untuk diri saya sendiri, atau setidaknya refresh apa yang sebenarnya sudah kita ketahui.
Dalam kaitan mengelola waktu ini saya teringat buku Seven Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey. Menurut Covey ada empat kuadran kategori kegiatan dilihat dari sisi penting (important) dan gentingnya (urgent) kegiatan tersebut. "Penting" menunjuk pada kesesuaian pencapaian visi hidup atau visi organisasi kita. "Genting" menunjuk pada mendesak tidaknya kegiatan tersebut dilakukan. Kuadran I berisi kegiatan yang genting dan penting. Kuadran II berisi kegiatan yang tidak genting tapi penting. Kuadran III berisi kegiatan yang genting dan tidak penting. Kuadran IV berisi kegiatan tidak genting dan tidak penting. Kira-kira mayoritas kegiatan kita berada di kuadran yang mana?
Tentu yang paling kita hindari adalah Kuadran IV, yaitu kegiatan yang tidak penting dan tidak genting, seperti menggosip, bermain medsos berlama-lama yang tidak perlu, dan aneka kegiatan mubazir lainnya. Kalau mayoritas kegiatan kita dalam zona ini artinya kita tidak produktif sama sekali. Inilah yang sering disebut menyia-nyiakan waktu. Ada dua kemungkinan kita berada di Zona IV ini : (a) tidak punya visi hidup atau (b) punya visi tapi tidak punya kemampuan manajemen pribadi.
Sebaliknya kalau mayoritas waktu kita habiskan untuk kegiatan di Kuadran I yakni penting dan genting maka yang terjadi adalah stres, lelah, dan krisis. Karena kita dituntut melakukan kegiatan penting namun harus dilakukan sesegera mungkin. Seperti, kegiatan membawa pasien ke rumah sakit : penting dan genting sekaligus. Kita sering merasakan di Kuadran I saat mengerjakan sesuatu yang dikejar deadline. Menunda pekerjaan pada Kuadran I tentu akan mendatangkan masalah. Pada situasi di Kuadran I, kita tidak akan sempat berpikir sesuatu yang strategis dan jangka panjang. Sebaliknya kita akan berada dalam tekanan tinggi untuk menuntaskan kegiatan sesegera mungkin dalam irama kegentingan. Istilah "SKS" atau sistem kebut semalam juga sebenarnya menggambarkan situasi Kuadran I ini.
Covey merekomendasikan kita berada dalam Kuadran II yaitu penting tapi tidak genting. Berada dalam zona ini kita fokus pada kegiatan-kegiatan yang strategis dan selaras dengan pencapaian visi hidup atau visi organisasi kita namun tidak dalam tekanan kegentingan yang tinggi. Contohnya, adalah kegiatan ibadah, merumuskan perencanaan, meningkatkan keahlian, menggali peluang-peluang, review, memikirkan strategi, olah raga, membangun relasi dan jejaring, dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Olah raga dilakukan dengan gembira dan relaks akan membuat tubuh kita semakin sehat. Olah raga penting dan kita selalu mengalokasikan waktu cukup secara reguler. Olah raga tidak ada hubungannya dengan deadline. Kesehatan ini menjadi penting untuk menopang tugas-tugas kita.
Bagi kita selaku dosen contoh konkritnya adalah mempersiapkan materi kuliah, menyiapkan proposal riset, menulis artikel publikasi nasional maupun internasional. Kita sekarang melalui WFH punya relatif banyak waktu sehingga kita dapat mengerjakan itu semua dalam posisi tidak terburu-buru. Kini adalah saatnya kita mereview lagi hasil-hasil riset kita dan menuliskannya dalam bentuk artikel yang memperkaya keilmuan atau mencerahkan publik. Saya percaya kita memiliki materi yang cukup untuk ditulis. Saatnya kita mempersiapkan kuliah online sebaik-baiknya sehingga ketercapaian learning outcome terjamin. Saatnya kita menyiapkan proposal riset dengan ide-ide brilian untuk memecahkan masalah masyarakat. Saatnya kita memikirkan arah IPB 4.0 dan jalan mewujudkannya, termasuk mengisi kerangka besar K2020 sebagai upaya penyempurnaan kurikulum yang adaptif terhadap perubahan disruptif. WFH adalah kesempatan memadu aktivitas penting strategis dengan terus memperkuat kehangatan keluarga. Ingat kata Stanley, bahwa dari 100 faktor sukses ternyata yang menjadi urutan ke-4 adalah dukungan dari pasangan hidup. Intinya, WFH adalah kesempatan kita untuk berlatih fokus pada aktivitas-aktivitas Kuadran II.
Menurut Covey, orang yang fokus pada Kuadran II ini adalah ciri orang proaktif. Orang proaktif tidak membiarkan dunia eksternal mengendalikannya sehingga ia merasa dalam tekanan deadline dan irama kegentingan sebagaimana di Kuadran I dan III. Ciri proaktif antara lain memiliki tujuan dan visi hidup, inisiatif bertindak dan bergerak maju, dan fokus pada lingkaran pengaruh diri keluar. Orang proaktif selalu bertanggungjawab atas keputusannya sendiri dan tidak menyalahkan keadaan atau orang lain. "If you 're proactive, you don't have to wait for circumstances or other people to create perspective expanding experiences. You can conciously create your own", kata Covey. Sebaliknya orang reaktif fokus pada lingkaran pengaruh luar terhadap pikiran dan tindakan diri, sehingga ketika menemui masalah orang reaktif sering menyalahkan keadaan dan orang lain.
Istilah proaktif ala Covey mirip dengan aktif ala Erich Fromm. Menurut Erich Fromm, sebaiknya kita menjadi orang aktif dan bukan orang sibuk. Aktif dan sibuk sama-sama menghabiskan waktu. Lalu apa bedanya ? Bedanya, aktif menunjukkan aktivitas yang dilakukan melalui penjiwaan, atau bekerja dengan passion tinggi. Biasanya aktivitas yang selaras dengan visi akan membuat kita lebih menjiwai. Sebaliknya sibuk adalah aktivitas menghabiskan waktu tanpa penjiwaan atau passion. Kesibukan seperti itu akan menimbulkan alienasi diri. Persis seperti orang yang mengerjakan kegiatan tidak penting, yang tidak selaras dengan visi dan tujuan.
Mari terus latihan agar kita mampu mengelola waktu dengan dominasi kegiatan di Kuadran II, sekaligus latihan untuk menjadi pribadi yang proaktif. Latihan adalah proses pembelajaran. Menjadi manusia pembelajar akan terus diisi dengan latihan-latihan, dan orang proaktif akan selalu tertarik berlatih untuk berbenah diri untuk perbaikan lingkaran pengaruh. Orang proaktif sadar betul bahwa ia adalah pemimpin untuk dirinya sendiri sehingga dialah yang paling berwenang mengambil keputusan untuk masa depannya. Kata pakar, orang proaktif tidak pernah memberi cek kosong kepada orang lain untuk menentukan masa depannya.
Bogor, 1 April 2020
Charles Darwin pernah mengatakan bahwa yang bisa bertahan bukan semata yang terkuat dan terpintar, namun yang responsif terhadap perubahan. Kini kita hidup di alam perubahan yang begitu cepat, diiringi dengan ketidakpastian dan kompleksitas yang amat tinggi. Lihat saja tahun 2020, di saat kita baru mulai menyadari arus besar Revolusi Industri 4.0, tiba-tiba pandemi Covid-19 datang secara tak terduga. Pandemi Covid-19 telah menjadi sumber ketidakpastian baru: kapan kerja akan kembali normal dan kapan sekolah buka secara luring sebagaimana biasanya? Ketidakpastian ini telah berdampak secara ekonomi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Ketidakpastian pada akhirnya telah menjadi ketidakpastian global. Artinya, semua negara berada dalam situasi yang sama, sehingga siapa yang paling responsif maka dialah yang akan bertahan. Bagaimana agar Indonesia tergolong tidak saja bertahan pada 2021, tetapi juga menjadikan 2021 sebagai momentum kebangkitan baru?
KEKUATAN INOVASI
Pandemi Covid-19 telah membawa dunia pada sebuah krisis besar. Namun demikian, pada umumnya setiap krisis ternyata menghasilkan lompatan-lompatan inovasi baru. Saat Krisis Perang Dunia kedua telah ditemukan komputer yang pertama kali, disertai mesin jet pesawat, obat penisilin, dan radar. Pertanyaannya, lompatan inovasi apa lagi yang akan muncul pada saat krisis Covid-19 sehingga menjadi tonggak baru perubahan dunia?
Dalam Indeks Inovasi Global 2020, Indonesia berada di urutan ke 85. Di Asia tenggara, posisi Indonesia di bawah Singapore, Malaysia, Vietnam, Thailand, Philipina, dan Brunei. Artinya di Asia Tenggara saja Indonesia jauh tertinggal. Apakah mungkin tahun 2021 Indonesia akan menyodok ke posisi 3 besar di Asia Tenggara? Apakah Indonesia akan berhasil melakukan lompatan-lompatan inovasi sehingga Indonesia benar-benar menjadi negara yang berpengaruh di dunia?
Ada sejumlah syarat lompatan-lompatan inovasi itu berhasil dilakukan. Pertama, lompatan inovasi mensyaratkan kekuatan “future practice” atau “next practice”. Ini akan menjadi kekuatan disrupsi, sebagaimana Rhenald Kasali sering ungkap. Bila kita secara kompak memiliki orientasi baru untuk terus menghasilkan “future practice” maka kita lah yang akan menjadi penentu kecenderungan perubahan. Jack Ma telah hadir dengan Alibaba-nya dan menjadi penentu kecenderungan global. Padahal 10 tahun lalu Jack bukan siapa-siapa. Mark Zuckerberg dengan Facebook-nya telah membuat dunia semakin berjejaring. Lalu Steve Chan, Chad hurly, dan Jaweed Karim menerobos batas kelaziman bisnis media dengan Youtube nya. Kini semua orang bisa menjadi artis, penyanyi, pelawak, presenter, dan tokoh hanya melalui Youtube. Bisnis media tak lagi perlu konten. Inilah yang mendisrupsi media televisi. CNN, NHK, dan BBC tak lagi bersaing, tapi mereka sama-sama menghadapi saingan baru yang sama sekali bukan media televisi, yaitu Youtube. Mereka lah contoh yang sukses menjalankan “future practice”, yang tentu selalu diiringi dengan kreativitas tinggi.
Masalah saat ini adalah bahwa pada umumnya masyarakat masih berorientasi pada “best practice”, bukan “future practice”. Artinya kita masih asyik meniru orang lain. Saat berbuat, kita selalu mencari rujukan dulu dan tidak berani melangkah manakala rujukan tidak ada. Kuatnya orientasi pada “best practice” hanya akan menjadikan kita sebagai pengikut selamanya. Akibatnya, kalaupun kita maju maka kemajuan kita akan selamanya di bawah bayang-bayang orang lain yang menjadi rujukan.
Kedua, “future practice” hanya hadir di kalangan orang-orang yang memiliki “Growth Mindset”, dan bukan fixed mindset. Istilah “growth mindset” dipopuperkan oleh Carol S.Dweck (2007). Orang yang memiliki “growth mindset” selalu sadar bahwa dunia telah berkembang dan berubah sehingga tidak ada kata lain selain harus ikut berubah. Baginya tidak ada istilah gagal. Kegagalan akan dijadikannya bahan pembelajaran berikutnya untuk tumbuh berkembang. Sebaliknya orang yang memiliki fixed mindset selalu menganggap kegagalan adalah batas kemampuannya. Orang dengan “Growth Mindset” yakin bahwa dirinya mampu mengubah dirinya sendiri, dan selalu ingin mencoba dengan hal-hal baru. Sebaliknya orang dengan “fixed mindset”, akan fokus pada keterbatasannya, dan kemampuan setiap orang dianggapnya fixed. Orang dengan “growth mindset” hidup penuh pikiran positif dan optimisme. Sebaliknya orang dengan “fixed mindset” hidup penuh dengan pikiran negatif dan pesimisme.
Ketiga, “Growth mindset” umumnya dimiliki oleh orang yang tergolong “agile learner”, pembelajar yang lincah, cepat, dan tangkas. Hari ini yang diperlukan bukan sekedar pembelajar, tapi pembelajar yang cepat, lincah, dan tangkas. Orang yang bertahan dan mampu merespon perubahan adalah orang-orang yang selalu cepat belajar sehingga mudah beradaptasi dengan lingkungan baru manapun. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada tahun 2030. Namun dengan berbekal sebagai “agile learner” maka kita akan cepat beradaptasi.
Keempat, tiga kata kunci di atas (future practice, growth mindset, agile learner) dapat dikembangkan melalui peran perguruan tinggi (PT). PT yang berorientasi pada lompatan inovasi harus terlebih dahulu diperkuat para mahasiswa dan dosennya yang bercirikan tiga kata kunci tersebut. Oleh karena itu, untuk menuju titik itu, tidak ada cara lain bagi PT selain melakukan perombakan kurikulum dan menciptakan ekosistem baru yang kondusif bagi tumbuhnya tiga kunci di atas. Dengan kata lain, lompatan-lompatan inovasi sebagai penentu sejarah baru dunia akan sangat tergantung pada kekuatan PT. PT hebat akan menghasilkan inovasi hebat. Bisa jadi rendahnya kita dalam indeks inovasi global juga menjadi cerminan peran PT yang belum maksimal, atau belum dimaksimalkan.
Fakta membuktikan bahwa bangsa hebat ditentukan oleh lompatan inovasi yang hebat. Dan inovasi hebat akan ditentukan PT yang hebat. Karena itu, untuk menjadi bangsa hebat maka pembenahan dan penguatan PT adalah mutlak.
OPTIMISME
Apakah kita bisa menjadi bangsa hebat? Bangsa kita masih terus dihantui dengan beban masa lalu sebagai bangsa yang terjajah selama tiga setengah abad. Seolah-olah beban masa lalu akan terus mewarnai sikap keseharian kita yang merasa inferior, minder, dan tidak percaya diri. Padahal Bung Karno dan Angkatan 45 telah memberi contoh bahwa kita bisa bangkit. Proklamasi Kemerdekaan adalah bukti bahwa kita lah penentu nasib masa depan bangsa ini. Kita tidak beri cek kosong kepada siapapun untuk menentukan masa depan bangsa ini. Bahkan pendiri Republik ini telah memberi contoh dan teladan bahwa kita bisa bangkit dan menjadi pemimpin dunia. Konferensi Asia Afrika dan KTT Non Blok adalah bukti inferioritas telah kita pupus, dan kita benar-benar menjadi negara yang berpengaruh di dunia. Pertanyaan berikutnya adalah 100 tahun ulang tahun kemerdekaan pada 2045 nanti, bangsa kita akan menjadi seperti apa?
Kata pepatah, mimpi itu gratis. Keberanian untuk bermimpi akan menentukan masa depan kita. Apakah kita berani bermimpi bahwa pada tahun 2045 kita menjadi bangsa nomor 1 di dunia? Sama-sama bermimpi mestinya kita bermimpi maksimal sebagaimana Bung Karno ucapkan,” Bermimpilah setinggi langit. Jika Engkau jatuh, Engkau akan jatuh diantara bintang-bintang”.
Bermimpi menjadi nomor satu di dunia bukanlah khayalan. Apa yang membedakan kita dengan bangsa-bangsa maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Korea Selatan? Sebenarnya tidak ada bedanya. Mereka hidup 24 jam dengan dua mata, dua telinga, dua kaki, dan dua tangan. Bahkan secara ekonomi Korea Selatan pernah setara dengan Indonesia pada tahun 1960 an. Bedanya ada pada tiga hal: visi, strategi, dan eksekusi. Karena itulah mimpi besar harus diikuti dengan lompatan visi yang jauh ke depan dan adaptif terhadap perubahan, disertai dengan strategi yang jitu, dan eksekusi yang cepat-tepat. Hari ini ketepatan tidak cukup, tetapi perlu kecepatan.
Pandemi Covid-19 membuat semua negara seolah sama kondisinya. Pada titik start yang sama ini, kemudian tergantung pada siapa yang lebih cepat lagi untuk berlari. Kecepatan kita berlari sangat tergantung dari visi, strategi, dan eksekusi. Kita perlu fokus pada tiga kunci ini.
Optimisme ini harus terus kita bangun. Optimisme adalah energi positif untuk membawa kita keluar dari krisis dan energi menemukan masa depan. Saatnya kita sudahi energi negatif yang masih subur pada tubuh bangsa ini. Kekompakan dan kebersamaan adalah modal penting untuk kemajuan. Tak terbayangkan bila itu semua diperkuat dengan spirit “growth mindset” dan orientasi “future practice”, maka kita akan kaya inovasi, dan ini akan menjadi sumber inspirasi untuk terus berinovasi lagi. Inovasi yang berkelanjutan ini adalah modal penting menjadi negara hebat.
Apa yang akan terjadi pada tahun 2045? Kita benar-benar tidak tahu. Namun Abraham Lincoln mengingatkan kita bahwa cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya. Selama 25 tahun mendatang kita harus benar-benar berbenah. Indonesia 2045 akan sangat tergantung dari apa yang kita ciptakan hari ini. Karena itulah harus ada tonggak inovasi baru pada 2021. Indonesia 2021 adalah penentu Indonesia 2045.
Los Angeles, 21 Desember 2020
Ada 5 pesan dan harapan saya pada alumni IPB pada Forum Silaturahmi Alumni (FSA) IPB, 19 September 2020.
Pertama, Alumni IPB harus kompak, solid, saling membesarkan, dan jangan ada konflik yang tidak perlu di media sosial. Ingat pepatah Jawa “kalah wirang menang orang kondang” yang artinya kalah malu dan menang tidak dapat apa-apa.
Kedua, Alumni IPB harus percaya diri dan bangga pada almamater. Kita harus bangga dengan karya almamater kita. Banggalah dengan apa yang kita miliki dan kita capai. Nampaknya bagi mereka yang inferior, seolah kita ditakdirkan sebagai follower dan tertinggal selamanya. Tidak ada keberanian untuk menjadi yang terdepan. Inilah ciri-ciri mental inferior yang harus kita pupus.
Ketiga, Alumni IPB harus menjadi pelopor pembangunan Agro-Maritim 4.0. Pandemi Covid-19 adalah momentum untuk menunjukkan pada dunia bahwa sector agro-maritim adalah solusi. Sektor ini yang masih tumbuh positif, dan karenanya harus kita wujudkan kemandirian pangan. Jaringan alumni IPB merupakan asset bangsa untuk menunjukkan hal tersebut.
Keempat, Alumni IPB harus menjadi sumber terbaik inovasi dan inspirasi. Dunia terus berubah. Inovasi kita juga harus tumbuh dan berubah. Mari terus berinovasi dengan daya manfaat yang lebih besar lagi. Kuncinya adalah kreativitas, future mindset, kolaborasi, dan berani bermimpi. Mimpi besar akan menghasilkan inovasi besar. Tebarlah selalu inspirasi. Jadikan pertemuan dan silaturahmi sebagai arisan inspirasi. Inspirasi akan membuat kita optimis dan percaya diri.
Kelima, Alumni IPB harus menjadi bagian dari masa depan. Kata Abraham Lincoln, “the Best way to predict the future is to create it”. Menciptakan masa depan hari ini hanya bisa terjadi kalau kita punya inspirasi dan inovasi. Keduanya berasal dari sebuah mimpi. Mimpi tidak lah muncul saat kita tidur, tapi saat kita sadar. Untuk menjadi bagian dari masa depan kita harus fokus pada future practice dan bukan semata best practice. Fokus pada future practice akan menjadikan kita leader dan penentu perubahan. Sebaliknya fokus pada best practice hanya menjadikan sebagai follower semata.
Mengapa kita selalu menjadi follower dari bangsa lain? Karena kita tidak pernah berpikir tentang future practice. Karena kita tidak percaya diri dan tidak optimis untuk menemukan masa depan kita sendiri. Ingat bangsa maju berisi orang-orang yang hidup 24 jam, punya 2 mata, 2 telinga, 2 tangan, dan 2 kaki persis seperti kita. Apa bedanya dengan kita? Bedanya pada Visi, Strategi, dan Eksekusi yang adaptif terhadap perubahan. Era sekarang memerlukan agility, kecepatan, dan kreativitas. Kita butuh mindset baru dan cara baru untuk bergerak akurat dan cepat. Masa depan sulit dilihat dengan kacamata masa lalu.
Oleh karena itu Himpunan Alumni IPB dan IPB harus bersama-sama memperkuat para mahasiswa dan alumni IPB untuk memiliki 3 future skills tersebut: Visi, Strategi, dan Eksekusi, dengan penuh optimis dan percaya diri. Kita perkuat skill leadership, technopreneurship, dan sociopreneurship dalam integrasi kurikulum akademik dan kemahasiswaan. Kita akan hadirkan calon-calon pemimpin bangsa dari kampus terbaik ini. Yakni calon pemimpin yang optimis menjadikan bangsa ini selalu terdepan. Salam Satu Hati Satu IPB.
19 September 2020
'Terpilih' menjadi bagian dari penyintas (survivor) covid-19 tentu bukanlah hal yang saya harapkan. Namun saya bersyukur, karena barangkali begitulah caraNya agar saya punya kesempatan belajar hal baru, termasuk introspeksi diri. Paling tidak ada tiga catatan pembelajaran yang dapat saya bagikan sebagai penyintas Covid-19.
Pertama, ketahanan spiritual. Ibnu Sina mengatakan, “kepanikan adalah separoh penyakit, ketenangan adalah separo obat, dan kesabaran adalah langkah awal kesembuhan”. Karena itu, pertanyaannya : apa yang menjadi sumber ketenangan?
Mengingat Allah adalah sumber ketenangan hati (QS Arra’d: 28) dan dalam QS Al-Baqarah 152 Allah juga berfirman, “Karena itu ingatlah kepadaku, niscaya aku akan ingat kepadamu”. Mengingat Allah berarti semakin mendekatkan diri: dzikir, sholawat, tadarus Al-Quran, mendengarkan ayat-suci Al Quran, beribadah dan doa secara total. Ingat, Al Quran adalah juga sumber syifa atau “obat” dalam arti luas, sebagaimana firmanNYA, “Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi syifa’ dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”(QS. Al Isra’: 82).
Mendekatkan diri adalah membangun keikhlasan dan membangun prasangka baik, termasuk melihat cobaanNYA ini sebagai momentum perbaikan diri. Yakni, momentum menjadi pribadi yang berkualitas yang sabar, rendah hati, peduli, dan menjadi hamba yang lebih baik.
Kekuatan iman mendatangkan kemampuan mengambil hikmah setiap cobaan. Ingat janji Allah bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan (QS 94:5-6). Kekuatan iman akan mendatangkan prasangka baik. Prasangka baik kepada Allah adalah sumber ketenangan, dan ketenangan adalah sumber peningkatan imun, dan imun adalah pertahanan terbaik menghadapi penyakit. Karena itu, berprasangka baiklah kepada Allah karena Allah akan berkehendak sesuai prasangka hambanya.
Kedua, ketahanan interpersonal. Saya menyatakan secara terbuka bahwa saya positif terkenan Covid-19, untuk memudahkan tracing dan meminimumkan risiko menularnya ke orang lain. Setelah informasi meluas, doa terus bergema. Yang pokok adalah doa orang tua dan keluarga yang memiliki ketulusan khusus. Begitu pula peran para sahabat dalam: (a) mengirimkan doa dan semangat, (b) mengirimkan tips pengobatan, dan bahkan banyak yang (c) membantu obat-obatan.
Komunikasi interpersonal yang baik menjadi sumber kebahagiaan. Sebaliknya, komunikasi interpersonal yang buruk akan menjadi energi negatif yang menguras emosi yang bisa menurunkan imun. Cinta tulus tak bersyarat para sahabat melalui doa dan atensi adalah energi positif yang menciptakan ketenangan, semangat baru, dan optimisme kesembuhan yang bisa memperkuat imun.
Ketiga, ketahanan fisik, yang bisa muncul dari ketahanan spiritual dan interpersonal di atas. Namun demikian ketahanan fisik juga harus diperkuat dengan tindakan medis. Rumah sakit (RS) memiliki standar obat-obatan anti Covid-19 berupa paket multi vitamin C-D-E & zinc, obat-obatan termasuk antibiotik, makanan bergizi dan obat kumur, yang sebagian besar ditujukan peningkatan imun. RS melakukan pemantauan rutin suhu, tekanan darah dan saturasi.
Siapapun yang dinyatakan positif sebaiknya dibawa ke rumah sakit untuk diagnosis: paru-paru, darah, dan sekaligus deteksi kemungkinan ada penyakit sampingan yang akan berpengaruh untuk strategi pengobatan Covid-19.
Selain itu, saya mengkonsumsi obat-obatan herbal berbagai merk, propolis, permen Cajuput kayu putih inovasi IPB, madu, jahe merah, dan setiap saat menghirup aroma minyak kayu putih baik dengan euca roll on, maupun menghirup uap air panas yang ditetesi kayu putih. Saya juga mengkonsumsi air Zam Zam. Banyak juga yang mengirimkan ramuan herbal lainnya tak bermerk, yang sebagian saya konsumsi ketika sudah mengetahui kandungannya. Semua konsumsi obat herbal perlu kita konsultasikan ke dokter.
Jadi, kunci menghadapi Covid-19 adalah imun, dan peningkatan imun bisa terjadi karena penguatan ketahanan spiritual, interpersonal, dan fisik.
Tulisan ini tidak berpretensi sebagai analisis faktor kesembuhan. Tulisan ini adalah sekedar cerita dan refleksi apa yang saya lakukan dan alami selama 6 hari perawatan di RS ini, yang Alhamdulillah kemudian dinyatakan sembuh setelah uji swabnya negatif. Mari kita terus saling mendoakan semoga sehat selalu sehat walafiat. Semoga bermanfaat.
Sentul, 26 September 2020
Semua hari itu penting. Namun hari ini terasa lebih penting karena menjadi momentum untuk semakin mengetahui bahwa usia bertambah yang berarti kesempatan hidup makin berkurang. Karena itu tak ada jalan lain selain membuat hidup harus makin berarti.
Apa itu hidup berarti? Hidup berarti adalah meningkatnya satuan output dan impact per satuan waktu dalam hidup kita. Impact pada siapa? Tentu pada sesama dan alam semesta. Hidup berarti adalah hidup yang bermanfaat untuk orang lain karena kata Nabi: khoirunnaas anfa'ahum linnaas, yang artinya sebaik2 manusia adalah yang bermanfaat buat sesama. Lagu Anugerah yang kuciptakan beberapa tahun lalu mengisahkan tentang hal tersebut, tentang renungan pertambahan usia.
Agar hidup berarti, maka sisa hidup harus disyukuri dengan memperbanyak foot print atau jejak-jejak kaki yang memiliki impact lebih besar dimana pun kita berada dan dalam posisi apapun. Semakin banyak bersyukur maka nikmat akan bertambah (QS Ibrahim 7).
Mengapa nikmat bertambah, karena mestinya semakin bersyukur berarti kita semakin mendayagunakan anugerah iman, akal, fisik, dan anugerah kemerdekaan untuk mengemban misi rahmatan lil alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam. Bersyukur adalah kerja menghasilkan karya untuk kelebihbaikan.
Bersyukur adalah ikhtiar
produktif. Semakin produktif dengan ide dan karya yang menginspirasi orang lain akan meningkatkan multiplier effect dari produktivitas kita. Inilah asal muasal kemajuan. Kemajuan akan tercipta mana kala semua orang membuat foot print yang menyejarah dan menginspirasi, yang berdampak pada munculnya foot print-foot print baru yang terus menggelinding ibarat bola salju yang makin membesar dan membesar. Akhirnya kita pun merasakan nikmat dari hasil foot print-foot print orang lain yang terus menggelinding dan membesar tersebut. Disinilah, kita makin menyadari bahwa semakin banyak memberi maka akan semakin banyak menerima. Bagi kita, semakin banyak mengamalkan ilmu maka akan bertambah ilmu kita. Tentu premis ini mensyaratkan mentalitas pembelajar bagi orang berilmu. Orang berilmu tidak statis tapi dinamis karena terus belajar dan belajar mencari ilmu.
Kemajuan itu takdir, dan takdir kemajuan terjadi karena sebuah proses dari kerja akal kita yang merupakan anugerah Allah SWT. Allah SWT itu Maha Berkehendak dan apapun bisa terjadi kalau Allah mengatakan Kun Fayakun. Namun Allah pada saat yang sama juga menghargai proses, itulah yang disebut Sunatullah. Man jadda wajada, barangsiapa bersungguh-sungguh maka akan mendapatkan kemajuan. Kemajuan adalah hasil sebuah proses kerja akal budi dan nurani kita.
Proses kerja adalah kontekstual. Ada dimensi ruang dan waktu yang harus diperhitungkan. Karena konteks zaman dulu berbeda dengan sekarang. Karena itu kekuatan syukur kita juga sangat tergantung pada pemahaman kita tentang konteks zaman baru ini. Pemahaman yang baik tentang konteks kekinian mestinya membuat proses kerja sebagai tindakan syukur kita lebih memberikan impact yang makin berarti. Disinilah kita akan punya andil pada kemajuan. Kita akan punya andil pada perubahan. Kita akan punya andil pada munculnya sejarah baru dan peradaban baru. Inilah mimpi kita bersama. Yaitu, menjadi rahmat bagi seluruh alam, yang dalam bahasa kekinian artinya menjadi trend setter perubahan.
Sekali lagi, pertambahan usia harus kita maknai sebagai pertambahan produktivitas dan impact dari tindakan syukur kita. Semoga dengan pertambahan usia, maka hidup kita makin berarti. Dan semua hasil dari tindakan syukur kita yang berarti ini akan menjadi bekal penting ketika suatu saat kita harus berjumpa kehadirat Allah Swt sebagai bentuk pertanggungjawaban atas atas nikmat dan anugerah dunia yang luar biasa ini.
Renungan kecil ini kita tutup dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :
“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu),” (HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud z. Lihat Ash-Shahihah, no. 946).
Goettingen, 17 September 2019
Selamat Dies Natalis IPB ke 56 hari ini, 1 September 2019. Kita bersyukur usia kita telah bertambah yang tentunya prestasi pun harus bertambah. Setiap detik pertambahan usia adalah kesempatan pertambahan prestasi. Eksistensi kita di masa depan sangat tergantung dari utilisasi perdetik pertambahan waktu kita itu. Eksistensi bisa tumbuh linier, bisa juga tumbuh eksponensial, tapi bisa juga "nyungsep". Semua tergantung dari kualitas utilisasi waktu kita. Kalau waktu kita anggap sebagai kesempatan untuk tumbuh berkembang maka tak ada jalan lain selain day to day thinking dan bertindak cerdas tangkap peluang. Sementara kalau pertambahan waktu kita anggap sebagai beban maka yang ada adalah kecemasan setiap saat. Ini persis dengan cemasnya saat 2×15 menit perpanjangan waktu pertandingan sepakbola karena lebih ketakutan kebobolan gol dari pada optimisme untuk justru menambah gol.
Eksistensi IPB dulu hingga saat ini diuntungkan dengan orang-orang di dalamnya yang memanfaatkan pertambahan waktu dengan sangat baik dan sikap proaktif. Kalau kita pelajari perjalanan IPB selama ini sejak berdirinya tahun 1963, ada tiga faktor penyebab suksesnya IPB, yaitu INSPIRASI, INOVASI, dan INTEGRITAS.
Pertama, INSPIRASI telah menjadi penciri IPB karena banyak ide IPB dalam bidang pendidikan dan pertanian yang merangsang berbagai pihak untuk mengadopsi atau mengembangkan lebih lanjut. Ide seleksi masuk IPB tanpa tes adalah yang monumental, yang kemudian diadopsi secara nasional dengan nama PMDK dan lalu sekarang bernama SNMPTN. Begitu pula ide bimbingan massal yang menjadi program nasional di era Orde Baru sehingga kita mencapai swasembada beras 1984. Pemikiran pembangunan ala Sajogyo juga mewarnai pembangunan pedesaan di Indonesia. Inspirasi adalah fungsi dari kreativitas berpikir. IPB bisa terus menginspirasi karena kreativitas berpikir yang bisa tumbuh berkembang di lingkungan akademik kampus yang kondusif. Ide-ide yang menarik dan unik menjadikan orang lain tertarik untuk mengembangkan lebih jauh. Inilah yang dimiliki para pendahulu dan senior IPB, yakni kemampuan menginspirasi.
Kedua, INOVASI adalah proses pemanfaatan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk barang atau jasa, proses, atau sistem yang baru, yang memberikan nilai tambah penting. Inovasi IPB sangat banyak. Dalam inovasi produk kurun waktu 2008-2018 ada lebih dari 450 inovasi yang prospektif dan memberikan kontribusi 39.6% dari total Inovasi paling prospektif menurut penilaian Business Innovation Center (BIC). Inovasi kelembagaan juga banyak, salah satunya Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). Inilah yang membuat IPB dalam tiga tahun ini selalu mendapatkan Anugerah Widyapadhi dari Menristekdikti. Inovasi IPB tersebut menjadi modal IPB untuk berperan di masyarakat. IPB bisa besar seperti sekarang ini karena inovasi-inovasi nya yang bermanfaat, baik untuk pemerintah, industri maupun masyarakat.
Ketiga, INTEGRITAS yang berisi kejujuran, kedisiplinan, tanggungjawab, dan komitmen menjadi penciri alumni IPB. Integritas menjadi pilar penting dalam membangun sinergi IPB dengan berbagai pihak.Integritas ini kemudian melahirkan trust, yang merupakan pilar penting modal sosial. Artinya, kepercayaan publik kepada IPB didasarkan pada integritas orang-orang di dalamnya, dan di internal IPB pun akhirnya tercipta modal sosial yang kuat. Dengan modal sosial yang kuat tersebut maka inovasi-inovasi pun bermunculan lebih lancar.
Jadi ketiga faktor tersebut sebenarnya terkait satu sama lain. Pertanyaan sekarang adalah bagaimana konteks baru inspirasi, inovasi dan integritas IPB di saat kita memasuki era baru VUCA (Volatility, uncertainty, complexity, ambiguity) akibat Revolusi Industri 4.0.
VUCA memang bisa membuat kita "fragile", tapi bisa membuat kita "agile" kalau VUCA kita artikan dengan Vision, Understanding, Clarity, dan Agilility. Kita harus punya visi dan future mindset, dan lalu mampu menghadirkan masa depan ke dalam pikiran dan langkah hari ini. Kata orang, "tommorrow is today", dan "future is now".
Volatility harus kita jawab dengan kecepatan. Uncertainty kita jawab dengan risk literacy karena ketidakpastian akan penuh dengan resiko. Complexity kita jawab dengan understanding terhadap multi variabel yang saling terkait dan ini pun butuh skill complex problem solving. Mochtar Riady pernah berpesan di Rumah Perubahan Rhenald Kasali: kita jangan hanya tahu pohon tapi harus tahu hutan. Artinya, kita harus tahu ekosistem dan hubungan tali temali variabel-variabel di dalamnya. Ambiguity kita jawab dengan clarity, informasi harus lengkap dan jelas.
Saat ini yang diperlukan adalah inspirasi-inspirasi baru untuk menghadapi VUCA dan Revolusi Industri 4.0. IPB akan makin eksis kalau kita mampu hadir dengan ide-ide baru yang menginspirasi. Kita telah memiliki Rencana Jangka Panjang 2045. Kita telah memiliki Renstra IPB 4.0 yang menjadi panduan strategi dan program IPB menghadapi era 4.0 . Kita telah memiliki konsep Agro Maritim 4.0 yang dapat menjadi acuan pembangunan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan kelautan di era 4.0. Kita memiliki roadmap riset Agro Maritim 4.0 yang menjadi arah riset dan inovasi IPB. Kita telah memiliki kurikulum 2020 yang responsif terhadap era 4.0. Apakah pemikiran-pemikiran IPB tersebut sudah cukup menginspirasi?
Pada saat saya diundang FAO memaparkan gagasan IPB tentang digital agriculture, tidak sedikit orang apresiasi dengan kesiapan konsep IPB untuk pembangunan pertanian dunia ketiga. Begitu pula saat puluhan kesempatan menjadi pembicara seminar internasional dan nasional tentang 4.0 orang pun menyebut paparan yang menginspirasi. Namun, apa pun kata orang tentang inspirasi IPB, sebenarnya masih di tingkat permukaan. Hal ini karena yang sebenarnya ditunggu publik adalah inovasi konkrit selaras dengan era 4.0 yang bermanfaat, baik inovasi produk atau jasa, inovasi kelembagaan maupun inovasi sistem. Inovasi konkrit adalah inovasi yang benar-benar telah dirasakan hasilnya dan membawa efek pertumbuhan eksponensial.
Karena itu kita harus menjadikan ini sebagai momentum untuk membuktikan bahwa IPB selalu hadir dan eksis di setiap titik perubahan. Prestasi masa lalu IPB tak bisa lagi membantu reputasi kita manakala kita tak mampu memberikan kontribusi konkrit saat ini dan masa mendatang. Kita tak bisa lagi bernostalgia dengan membanggakan kisah masa lalu. Orang tidak akan lagi menganggap prestasi masa lalu sebagai keberhasilan kita. Sebaliknya orang menanti inovasi-inovasi baru dan prestasi-prestasi baru karena kita berada di era baru. Kita adalah pemilik hari ini dan pemilik masa depan. Orang pun menanti prestasi kita hari ini dan prestasi masa depan. Pendahulu kita memberi added value di eranya. Apakah kita sudah memberi added value di era kita yang baru ini?
Alhamdulillah kita baru saja Juara 2 Pimnas 2019. Kita dapat anugerah Widyapadhi dan Anugerah WidyaKrida dari menristekdikti. Kita dapat Gold Winner Pelayanan Informasi publik. Kita dapat juara 1 dan 2 mahasiswa berprestasi nasional. Kita di urutan 3 Perguruan tinggi terbaik di Indonesia 2019. Semua itu kita dapatkan dalam bulan Agustus 2019 ini. Kita pun masih top 100 world university ranking QS by subject Agriculture & Forestry.
Tentu kita bersyukur dengan segudang penghargaan tersebut. Namun kita tidak boleh terlena dan tidak boleh terlalu lama merasa nyaman di comfort zone ini. Prestasi-prestasi tersebut bukanlah akhir tapi ini adalah hanya modal penyemangat untuk menghasilkan inovasi-inovasi lebih dahsyat dan menyejarah. Hal ini karena kita masih punya dua agenda besar.
Pertama, bagaimana kita menghasilkan inspiring innovations untuk mempercepat transformasi masyarakat pedesaan ke arah smart society yang inklusif. Inovasi-inovasi baru harus segera hadir untuk menyelesaikan complex problems yang ada. Karena itu kita harus dekat dengan kenyataan agar kita tahu masalah di lapang. Kita pun harus update dengan teknologi 4.0 agar solusi mengatasi masalah pun lebih presisi dan efektif. Mahasiswa pun harus sering turun desa untuk menginspirasi anak-anak desa agar punya mimpi dan visi masa depan. Karena itulah KKN di IPB bersifat wajib karena kita ingin mahasiswa bisa menginspirasi anak-anak desa tersebut, sekaligus mampu memetakan masalah riil dan memecahkannya secara kolaboratif dalam kerangka smart village. Agenda ini penting agar kita bisa segera mengejar ketertinggalan dari negara maju, setidaknya dalam bidang pertanian.
Kedua, bagaimana kita menghasilkan inovasi yang menginspirasi masyarakat global. IPB telah menentukan tema kerja 2023 yaitu local-global connectivity. Artinya, inovasi yang dihasilkan IPB harus menembus reputasi global. Indonesia kaya akan biodiversity dan culture diversity. Inilah modal untuk menghasilkan inovasi khas tropis yang tidak dimiliki oleh ilmuwan asing. Kita lah yang lebih berkesempatan menguak realitas tropis ini yang hasilnya bisa mewarnai dunia. Saatnya kita menjadi produsen teori dan inovasi, dan bukan sekedar konsumen.
Keseriusan dan ketajaman kita membaca peluang serta konsistensi bermental pembelajar akan menentukan bisa tidaknya kita memainkan dua agenda besar ini. Agenda inipun juga menuntut kita untuk membangun sinergi dan kolaborasi. Ternyata kesuksesan kolaborasi juga ditentukan oleh sejauhmana kredibilitas kita dan kredibilitas ini sangat ditentukan oleh profesionalitas dan integritas kita. Karena itu sekali lagi INSPIRASI, INOVASI, dan INTEGRITAS menjadi satu kesatuan tak terpisah.
Bila dua agenda besar terwujud maka IPB akan menjadi milik dunia dan inilah bukti bahwa IPB menjadi bagian dari sejarah dunia. Semoga dengan moto baru IPB "inspiring innovations with integrity" memotivasi kita untuk terus membuat sejarah baru.
Hari ini 1 September 2020 adalah Dies Natalis IPB ke 57. Terima kasih kepada Bapak Presiden, para Menteri, Gubernur BI, Pemkab dan Pemkot Bogor, para Rektor, para alumni dan para mitra IPB yang telah memberi atensi dan ucapan selamat. Di awal dan penghujung acara Dies Natalis IPB tersebut, diperdengarkan lagu yang saya ciptakan tahun 2019 khusus menyambut Dies Natalis IPB ke 56, berjudul "Kampus Terbaik". Lagu Kampus Terbaik tidak eksklusif untuk IPB, tetapi berlaku untuk kampus manapun. Isinya universal. Mengapa saya ciptakan lagu tersebut?
Lagu ini berisi pesan bahwa kampus terbaik selalu penuh dengan inspirasi, inovasi, dan integritas (3I). Tiga kata tersebut adalah modal untuk memberi terbaik untuk negeri, dunia, umat manusia dan alam semesta. Ada dimensi manfaat yang harus diberikan. Namun demikian kampus harus menjadi bagian dari masa depan sehingga selalu responsif terhadap perubahan. Karena itu kampus harus menghadirkan masa depan dalam langkah dan pikiran hari ini, agar kita selalu terdepan. Bekal ilmu dan jiwa pengabdian adalah modal kita menghadapi deras arus zaman yang takkan tertahan. Menghadapi masa depan harus bermental pembelajar lincah yang terus berpacu dalam keunggulan. Terus melangkah dan maju melangkah. Begitulah isi lagu Kampus Terbaik.
Bernyanyi, berkata, dan menulis yang berisi pesan positif adalah doa. Menjadi kampus terbaik adalah doa. Mulutmu harimaumu, kata pepatah. Apa yang sering kita ucapkan itulah yang akan menjadi kenyataan. Karena itu sering-seringlah mengucapkan hal-hal baik dan positif. Hal positif yang sering kita ucapkan adalah energi positif untuk menyempurnakan kehidupan kita.
Mimpi dan doa itu gratis. Tak ada resiko apapun bermimpi dan berdoa setinggi langit. Bahkan Bung Karno mengatakan, "Bermimpilah setinggi langit. Kalau pun jatuh, engkau akan jatuh diantara diantara bintang-bintang". Masalah bangsa ini jangan-jangan karena untuk bermimpi pun kita takut. Inferiority complex seperti inilah yang mungkin menghambat kita maju. Bangsa-bangsa maju juga hidup 24 jam dan diberi jiwa raga seperti kita. Bedanya mereka punya mimpi dan berusaha mewujudkan mimpinya itu dengan strategi dan kerja keras. Lahirlah banyak inovasi yang mengubah dunia.
Sikap inferior ini harus kita pupus. Bergembiralah melihat prestasi orang lain. Janganlah melulu melihat celah masalah orang lain. Banggalah dengan apa yang kita miliki dan kita capai. Kadang ada orang yang selalu underestimate terhadap orang lain, juga terhadap dirinya, kelompoknya, institusinya, bahkan bangsanya sendiri. Nampaknya bagi mereka yang inferior, suatu hal yang aneh kalau tiba-tiba kita menjadi maju. Seolah-olah kita ditakdirkan sebagai follower dan tertinggal selamanya. Tidak ada keberanian untuk menjadi yang terdepan. Mungkin tidak sedikitpun terbayang dalam mimpinya untuk menjadi orang yang maju. Inilah ciri-ciri mental inferior yang harus kita pupus.
Mengapa kita punya inferiority complex? Orang sering menjawab karena penjajahan 350 tahun. Tetapi mestinya jawaban hari ini adalah karena kita tidak berani menghentikan inferiority complex tersebut. Penjajahan adalah masa lalu dan janganlah selalu meratapi masa lalu itu. Yang kita hadapi adalah hari ini dan masa depan. Yang diperlukan hari ini dan masa depan adalah karya besar. Jadi tidak ada cara lain selain mengubah mindset kita agar selalu membuat karya besar. Karya besar hanya bisa lahir dari mimpi besar. Mimpi besar hanya bisa terwujud dengan usaha ekstra besar, dan dimulai dari langkah kecil yang kita mampu. Yang penting adalah mulai melangkah.
Honda mengatakan bahwa sebagian orang bermimpi untuk lari dari kenyataan, sebagian lagi bermimpi untuk mengubah kenyataan. Kita pilih yang kedua, yakni bermimpi untuk mengubah kenyataan.
Masuk ke dalam peringkat 531+ dunia versi QS awalnya hanyalah mimpi. Mendapat skor tertinggi dalam klasterisasi Perguruan Tinggi 2020 juga awalnya sebuah mimpi. Mimpi terwujud karena kita melangkah bersama. Mimpi adalah mengerakkan, bukan sekedar melamunkan keadaan ideal.
Apa mimpi kita selanjutnya? Peringkat bukanlah tujuan utama kita. Rumus kampus terbaik adalah yang mampu memberi yang terbaik. Ada nilai tambah yang kita berikan untuk negeri, masyarakat dan kehidupan ini. Ada inovasi dan lulusan yang dirasakan manfaatnya. Ada ide dan pemikiran yang menggerakkan kemajuan. Bangsa besar akan selalu tercipta berkat adanya kampus-kampus terbaik yang memiliki karya besar. Stanford University punya 'Silicon Valley' dengan inovasi yang dahsyat. IPB punya 'Aneka Inovasi Pangan' yang keren. ITB memiliki 'Inovasi Katalis' dan ITS menghasilkan 'Motor Gesit' yang top. Banyak kampus di Indonesia terus bergerak maju.
IPB sejak 2008-2019 memberikan kontribusi 501 inovasi atau 39% inovasi nasional menurut Business Innovation Center (BIC). Ada 57 varietas unggul IPB, beberapa sudah beredar di pasar seperti IPB 3S di 26 provinsi, Nanas, dan Pepaya Calina di 126 kab/kota dan 11 negara. Ada rumpun ayam unggul D1,D2, dan D3. Ada inovasi produk diversifikasi pangan seperti mie dari jagung, mie wortel, mie bayam merah, dan beras analog dari sagu, ubi, dan jagung. Ada juga biskuit dari lele. Ada inovasi biomaterial seperti helm dari limbah sawit. Inovasi biofarmaka, energi dan alsintan juga banyak. Era 4.0 juga melahirkan inovasi Precipalm, Apartemen Kepiting 4.0, smart tractor, dan robotik deteksi kematangan buah, dan masih banyak lagi. Adanya Science Techno Park IPB akan terus menggerakkan inovasi hingga terasa manfaatnya oleh masyarakat.
Tak kalah pentingnya adalah inovasi sosial yang menggerakkan masyarakat. Ada Sekolah Peternakan Rakyat di 22 kabupaten dan 11 provinsi, teknologi padi IPB Prima, Precision Village, One Village One CEO, kemitraan di Agribusiness Technology Park, Tani Center dan lainnya.
Kita harus bangga dengan karya-karya kita. Namun, dunia terus berubah. Inovasi kita juga harus tumbuh dan berubah. Mari terus berinovasi dengan daya manfaat yang lebih besar lagi. Kuncinya adalah kreativitas, future mindset, kolaborasi, dan berani bermimpi. Mimpi besar akan menghasilkan inovasi besar. Tebarlah selalu inspirasi. Jadikan pertemuan dan silaturahmi sebagai arisan inspirasi. Deras Inspirasi akan membuat kita optimis dan percaya diri. Inilah modal untuk terus bergerak maju.
Kata Abraham Lincoln, “the best way to predict the future is to create it”. Menciptakan masa depan hari ini hanya bisa terjadi kalau kita punya inspirasi dan inovasi. Keduanya berasal dari sebuah mimpi. Mimpi tidaklah muncul saat kita tidur, tapi saat kita sadar. Termasuk saat kita sadar dan sedang bernyanyi lagu Kampus Terbaik.
Dirgahayu IPB ke 57.
Jayalah IPB kita.
1 September 2020
Idul Fitri 1441 H di masa Pandemi Covid-19 memiliki makna khusus. Hal ini karena Pandemi Covid-19 akan menciptakan normal baru yang memerlukan daya adaptasi kita. Idul Fitri menjadi istimewa saat ini karena kemudian dikaitkan dengan relevansinya untuk memasuki tatanan hidup baru tersebut. Idul Fitri menghasilkan status “fitrah” atau kesucian pada diri kita, dan pertanyaannya adalah bagaimana status fitrah tersebut dapat menjadi modal untuk proses transformasi menuju dan mengisi normal baru?
Fitrah
Rasulullah Saw pernah bersabda, “Kamu harus bersikap sabar kepada orang yang membencimu, memaafkan orang yang berbuat zalim kepadamu, tetap memberi kepada orang yang memusuhimu dan juga menghubungi orang yang telah memutuskan silaturahmi denganmu"(HR. Thabrani). Hanya orang yang berhati suci dan bening yang bisa menuruti perintah Rasulullah tersebut. Siapa orang yang berhati suci tersebut? Yaitu orang yang berhasil mendapatkan fitrah atau kesucian selama bulan Ramadhan karena mendapat ampunan dari Allah Swt, kemudian mendapat dan memberi maaf sehingga bisa “restart” ulang hubungannya dengan sesama.
Bila kita renungkan fitrah mencerminkan hasil “install ulang” spiritual kita selama bulan Ramadhan. Ampunan Allah Swt mendasari kesucian diri. Diri ini bersih seperti saat lahir di dunia, baik bersih fisik dan bersih batin. Secara fisik kita kembali ke “fitrah” karena puasa adalah intrumen terbaik untuk detoks kesehatan, yang telah diakui dunia medis. Secara batiniah, kembali ke fitrah adalah bersihnya hati dan pikiran sehingga kebenaran ilahiah mudah masuk dan melekat. Kebenaran inilah yang akan memandu kehidupan kita, termasuk dalam merangsang untuk terus menemukan kebenaran ilmiah.
Jernihnya hati dan pikiran ini diwujudkan dengan referensi pada sosok kesucian Rasul yang memiliki sejumlah identitas yaitu: Shiddiq (benar-jujur), fathanah (cerdas-pembelajar), amanah (dapat dipercaya-kredibel), dan tabligh (komunikatif-inspiratif). Bagaimana relevansi 4 identitas tersebut pada transformasi sosial?
Daya Transformasi
Shiddiq atau jujur mencerminkan integritas, karena orang Shiddiq memegang komitmen etik yang kuat. Fathanah mencerminkan kompetensi profesionalitas atau kapabilitas. Kita disebut semakin fathanah kalau kita mampu aktif sebagai pembelajar yang tangguh, yang terus menghasilkan inovasi-inovasi monumental yang bermanfaat dan adaptif terhadap perubahan. Fathanah juga tercermin dari sensitivitas kita pada sinyal-sinyal perubahan. Hal ini karena sinyal perubahan hanya bisa ditangkap oleh orang-orang yang cerdas dan visioner.
Dulu, setiap Rasul diturunkan pada umat yang selalu bermasalah, sehingga para Rasul mendapat tugas untuk melakukan perubahan dengan membangun peradaban baru. Untuk memetakan agenda perubahan dan merumuskan visi masyarakat baru tersebut tentu memerlukan kecerdasan dan ketajaman visi tersendiri. Inilah mengapa fathanah harus dimiliki seorang Rasul, aktor utama perubahan. Perubahan harus dilakukan dengan pengetahuan dan oleh aktor yang berpengetahuan (fathanah).
Selanjutnya shiddiq sebagai dasar pembentuk integritas ditambah dengan fathanah sebagai dasar penguat kapabilitas akan menghasilkan identitas baru yaitu amanah atau kredibilitas. Jadi, integritas dan kapabilitas harus menyatu untuk membentuk kredibilitas, yakni kondisi yang menunjuk pada tingkat kepercayaan orang lain kepada kita. Oleh karena itu, kita akan mendapat status amanah (dapat dipercaya) atau kredibel bila kita memiliki integritas dan kapabilitas (kompetensi dan profesionalisme). Selanjutnya, kredibilitas ini akan bermuara pada dua hal.
Pertama, kredibilitas tersebut akan menjadi basis bagi terbentuknya basis silaturahmi dan jejaring yang baik, yang selanjutnya merupakan modal dasar suksesnya kolaborasi. Kolaborasi ini adalah cara yang bisa ditempuh untuk memaksimalkan inovasi atau ikhtiar perubahan. Inilah yang disebut modal sosial karena kuatnya jejaring dan rasa saling percaya antar kita.
Penguatan jejaring dan silaturahmi sebenarnya bisa diraih dari Tradisi halal bihalal di Indonesia. Hal ini karena orang yang berhalal bihalal adalah orang yang telah berpuasa sehingga relatif kesuciannya meningkat dan pada saat yang sama ada proses bermaafan yang dapat menormalisasi silaturahmi. Jadi, halal bihalal adalah salah satu instrumen trust building.
Betapa indahnya hidup ini apabila hidup penuh saling percaya, mudah saling memaafkan, tanpa dendam, tanpa dengki, tanpa curiga, tanpa prasangka buruk, dan tanpa rasa bermusuhan. Persatuan pun dengan mudah diciptakan, sebagaimana pasca Hijrah Rasulullah SAW menyatukan kaum Muhajirin dari Mekah dan kaum Anshor dari Madinah. Jejaring Muhajirin dan Anshor ini adalah modal sosial bagi pembangunan peradaban di Madinah.
Kedua, kredibilitas akan menjadi basis bagi strategi komunikasi. Dengan status sebagai orang yang amanah atau kredibel, maka semakin mudah bagi kita untuk berkomunikasi menyampaikan pesan-pesan inspiratif (tabligh), yakni pesan-pesan yang menggugah publik berpikir dan bertindak untuk perubahan yang lebih baik. Disinilah tergambar bahwa tabligh tidaklah berdiri sendiri melainkan hasil dari akumulasi integritas, kapabilitas, dan kredibilitas.
Karena itu sebenarnya proses perubahan sosial yang diinisiasi setiap Rasul pada jamannya mensyaratkan aktor-aktor yang berintegritas, memiliki kompetensi profesional, memiliki kredibilitas, serta memiliki kemampuan menginspirasi agar publik tergerak turut dalam arus perubahan.
Dengan demikian kita semakin memahami bahwa 4 identitas Rasul itu merupakan satu kesatuan sebagai modal untuk proses transformasi. Keberhasilan sebuah transformasi tersebut akan sangat tergantung dari sejauhmana para aktor penggeraknya mencerminkan 4 identitas tersebut.
Jadi, fitrah yang kita raih bukanlah kondisi statis melainkan harus menjadi daya transformasi baru. Konteks transformasi hari ini adalah bagaimana membangun kekuatan memasuki dan mengisi normal baru. Daya transformasi ini akan membuat kita menjadi bagian dari sejarah normal baru ini. Kemampuan untuk terlibat dalam proses sejarah inilah yang akan menentukan masa depan dan kejayaan kita.
Bogor, 29 Mei 2020
Arif Satria
(Pokok-Pokok Sambutan Rektor IPB pada Halal Bihalal IPB 29 Mei 2020)
Marhaban Ya Ramadhan. Bagaimana kita memaknai hikmah puasa Ramadhan secara multi dimensi? Setidaknya ada empat dimensi penting hasil menjalankan ibadah puasa Ramadhan baik pada level individual maupun sosial yaitu: (1) dimensi spiritual intelligence , (2) physical intelligence , (3) emotional intelligence , dan (4) social intelligence.
PERTAMA, adalah dimensi spiritual intelligence , yang menekankan pentingnya hubungan ilahiah yang bersifat transendental. Landasan puasa Ramadhan adalah keimanan dan memang puasa diperintahkan hanya kepada orang-orang yang beriman sehingga bunyi QS Al Baqarah 183 adalah Yaa Ayyuhalladziina aamanu dan bukan yaa ayyuhal muslimun . Karena itu niat berpuasa pun mestinya berbasis pada keimanan. Sebagaimana Hadist Nabi yang mengatakan "Barangsiapa berpuasa karena iman dan ikhlas maka akan diampuni dosa2nya terdahulu".
Jadi iman menjadi modal utama puasa, dan puasa juga ditujukan untuk menambah keimanan. Dengan puasa maka modal iman akan terus bertambah. Mekanisme pertambahan keimanan tersebut tercermin dari tuntutan intensitas ibadah selama bulan Ramadhan : perbanyakan sholat sunnah, tadarus al quran, i'tikaf, dan dzikir. Tidak lain pertambahan keimanan ini adalah bagian dari proses menuju status taqwa, yakni status yang dikejar oleh setiap mukmin yang berpuasa. Karena status inilah yang tertinggi di mata Allah Swt.
KEDUA, dimensi physical intelligence , yang menekankan benefit orang berpuasa secara biologis. Secara biologis, berpuasa sangat menyehatkan karena puasa 30 hari secara tidak langsung merupakan aktivitas detox yang penting bagi tubuh kita. Ahli kesehatan dan gizi manapun menempatkan puasa sebagai aktivitas fungsional menunjang kesehatan tubuh. Namun demikian tubuh sehat bukanlah segalanya. Tubuh sehat adalah salah satu prasyarat agar jiwa juga sehat, sebagaimana pepatah di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Bagaimana puasa menumbuhkan jiwa yang sehat?
KETIGA, dimensi self control dan emotional intelligence. Hakikat puasa adalah pengendalian diri. Puasa melatih orang untuk mampu mengendalikan diri baik dalam aspek nafsu maupun emosi. Kontrol terhadap nafsu biologis makin dilatih, seperti pembatasan secara syariah tentang konsumsi makanan dan minuman. Kontrol terhadap nafsu ekonomis juga dilatih, seperti perintah perbanyakan sedekah.
Sementara itu kontrol terhadap emosi juga dilatih, seperti menahan marah, sabar, dan mampu mengelola emosi sehingga berdampak pada perilakunya terhadap orang lain. Inilah yang dimaksud dengan kuatnya emotional intelligence, yang menurut Cardon terdiri dari kuatnya self awareness, self management, empathy, dan relationship management.
Ujung dari kuatnya emotional intelligence adalah good interpersonal skill. Dengan demikian puasa melatih untuk mengelola emosi diri yang selanjutnya dapat menciptakan hubungan sosial yang baik. Menurut Stanley, good interpersonal skill ini salah satu faktor sukses kita.
KEEMPAT, adalah dimensi social intelligence bahwa orang yang berpuasa makin meningkat kecerdasan dalam membangun kehidupan sosial. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Emotional intelligence yang didapat dari puasa dapat menjadi bekal bagi menguatnya social intelligence. Namun ada sisi lain yang perlu dikaji dalam social intelligence ini, yakni tentang kepercayaan (trust).
Ada keyakinan orang berpuasa itu jujur. Karena memang puasa memaksa orang berkata benar dan melatih kejujuran. Secara individual, kejujuran akan berujung pada kesuksesan seseorang sebagaimana hasil penelitian Stanley yang menempatkan kejujuran sebagai faktor nomor satu dari 100 faktor penentu kesuksesan.
Sementara itu secara sosial, kejujuran berujung kepada terciptanya kepercayaan. Karena asumsi jujurnya orang yang berpuasa, maka pada bulan puasa secara umum tingkat kepercayaan orang lain kepada orang yang sedang berpuasa akan meningkat. Dengan semakin banyak orang berpuasa mestinya semakin banyak orang dapat dipercaya. Dengan semakin banyak nya orang yang dapat dipercaya maka semakin mencirikan terciptanya high trust society yakni masyarakat dengan rasa saling percaya yang tinggi. Inilah yang oleh Francis Fukuyama menjadi modal sosial penting bagi kemajuan bangsa.
Menurut Fukuyama bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki modal sosial tinggi, yakni high trust society seperti Jepang, Jerman dan negara maju lainnya. Dengan demikian puasa bisa memberi andil bagi terciptanya high trust society dan kemudian membuat bangsa menjadi lebih maju. Persoalannya adalah apakah suasana bulan puasa yang penuh dengan saling percaya tersebut dapat diteruskan pada 11 bulan berikutnya? Bila jawabannya ya maka tesis bahwa puasa dapat meningkatkan kemajuan bangsa akan terbukti.
Dimensi social intelligence yang diperkuat dengan kemampuan kita membangun trust society di atas, semakin diperkaya dengan spirit solidaritas sosial dengan memberi kepada orang membutuhkan. Puasa melatih orang untuk peduli sesama. Mekanisme zakat, infak, dan sedekah (ZIS) selama bulan puasa adalah instrumen utamanya. Ditambah lagi dengan mekanisme fidyah bagi yang tidak berpuasa karena alasan tertentu semakin memperlihatkan dimensi sosial puasa.
Dengan demikian puasa tidak saja memperkuat social intelligence dengan high trust society tetapi juga anti kesenjangan. Semangat anti kesenjangan ini akan makin efektif bila seluruh mekanisme ZIS terinstitusionalisasi dengan baik.
Dengan hikmah puasa pada empat dimensi di atas semoga semakin membuat kita yakin bahwa perintah puasa dapat menciptakan kita sebagai khoirunnaas atau sebaik-baik manusia. Empat dimensi itu adakah modal bagi kita untuk terus memberi manfaat untuk kehidupan bersama ini.
(Materi disampaikan pada Tausiyah Online Menjelang Ramadhan DKM Alhurriyah Kampus IPB Darmaga). Diedit dari naskah sebelumnya.
Bogor, 22 April 2020
Saat kita ditanya bekal apa yang sudah kita siapkan untuk menuju kematian? Maka kita akan mengatakan bahwa ibadah kepada Allah Swt secara intensif dan berkualitas akan menjadi bekal kita. Lalu apa lagi? Ternyata Rasulullah SAW dalam sebuah hadits sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah pernah mengatakan, "Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 (perkara) : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh ". Disinilah kita baru mengenal ada dua dimensi bekal, yaitu bekal ibadah (vertikal) dan bekal muamalah (horisontal). Bekal vertikal yang bersifat individual adalah produk dari hubungan dengan Allah (hablu minallah). Bekal horizontal yang bersifat sosial adalah produk hubungan dengan manusia (hablu minannaas). Hadits tersebut semakin memperkuat bahwa bekal horisontal pun juga penting, bahkan membuat bekal terus bertambah secara berkelanjutan (sustainable). Mengapa berkelanjutan? Karena bekal itu akan terus mengalir dan terakumulasi dengan bekal lain yang sudah kita bawa. Sampai kapan?
Tentu bekal akan terus mengalir selama kehidupan ini masih ada dan juga selama bekal tersebut memiliki daya manfaat tinggi untuk orang lain. Jadi singkat kata, bagi yang meninggal dunia ada bekal yang langsung dibawa, dan ada tabungan bekal yang masih ditinggalkan di dunia yang insya Allah nanti akan menjadi tambahan bekal di akhirat. Tabungan bekal yang suatu saat kita tinggalkan inilah yang kita sebut "legacy". Legacy adalah jejak-jejak kita di dunia yang memiliki daya manfaat untuk orang lain dan masyarakat. Hadits di atas mengajarkan kita untuk terus membuat legacy. Ada dua hal saja yang kita bahas. Pertama, amal jariyah adalah aksi menciptakan nilai tambah secara berkelanjutan (sustainable) , yaitu amal yang memiliki dimensi kemanfaatan baik jangka pendek, menengah dan panjang untuk masyarakat. Aktivitas wakaf, memberi sedekah, membuka atau memberi lapangan kerja, memberi beasiswa, mendirikan sekolah, tempat ibadah, membantu fakir miskin, dan seterusnya adalah bentuk amal yang berpotensi jariyah (mengalir).
Amal jariyah tidak selalu berdimensi finansial, bahkan menanam pohon pun bisa kita masukkan ke dalam daftar amal jariyah, karena memiliki nilai tambah secara ekologis. Amal jariyah juga bisa berdimensi non material seperti memberi ide, pemikiran, motivasi, dan tenaga, Bagi orang yang memiliki kekuasaan maka keputusan atau kebijakan bisa menjadi bentuk amal jariyah non-material mana kala memberi multiplier effect kemaslahatan kepada publik. Semakin banyak orang yang menerima manfaat dan semakin lama manfaat itu dirasakan, maka berarti nilai tambah yang diciptakan semakin berkualitas. Dengan melihat dimensi-dimensi amal jariyah tersebut, maka amal jariyah tidak dimonopoli oleh orang berduit saja. Siapa pun bisa berbuat amal, asal ikhlas dan memiliki daya manfaat untuk orang lain dan masyarakat.
Kedua, ilmu yang bermanfaat juga termasuk yang membuat bekal mengalir. Hal ini karena ilmu bisa menciptakan nilai tambah secara lebih masif, sistemik, dan membawa multiplier effect untuk perbaikan kehidupan, termasuk semakin mendekatkan kita pada Yang Maha Berilmu. Ilmu disini tidak semata ilmu pengetahuan formal tetapi juga tacit knowledge yang dimiliki siapapun karena pengalamannya. Peradaban di dunia tercipta karena : (a) ada orang yang berilmu, (b) ada orang yang selalu mentransfer ilmu ke orang lain, dan (c) ada orang yang selalu mengamalkan ilmunya. Pendidikan adalah institusi untuk membuat ilmu makin berkembang, karena pertukaran ilmu terus terjadi. Kedekatan antara pendidikan dan kehidupan nyata akan memberi kesempatan agar ilmu dapat diamalkan sehingga membuat ilmu makin bermanfaat. Peradaban makin berkembang karena meningkatnya daya manfaat ilmu yang kita amalkan.
Karena itu kita bayangkan betapa besar potensi tabungan bekal dosen, guru, dan orang berilmu lainnya kalau kita terus menebar ilmu yang bermanfaat. Mengisi kuliah dengan sepenuh hati, ikhlas mencurahkan ilmunya kepada mahasiswa sehingga mahasiswa makin berilmu, menulis artikel dan buku yang menginspirasi, menghasilkan inovasi yang mengubah dunia, atau mendampingi desa dengan inovasi-inovasi, merupakan contoh kecil aksi membuat ilmu makin bermanfaat. Saat pandemi Covid-19 ini, tantangan kita semua untuk bisa menciptakan legacy baru, berupa ilmu yang bermanfaat untuk mengatasi Covid-19.
Lalu legacy apa yang akan kita ciptakan sehingga menjadi bekal pahala yang terus mengalir sampai kehidupan ini berakhir? Sekali lagi, kita mesti siapkan amal jariyah yang memiliki daya manfaat jangka panjang, dan pada saat yang sama kita amalkan ilmu kita untuk transformasi kehidupan lebih baik. Amal dan ilmu itulah pilar peradaban, dan kita semua dilahirkan di muka bumi ditugaskan untuk membangun peradaban dunia yan lebih baik. Peradaban yang baik adalah sebuah ekosistem kebahagiaan. Bukankah kita selalu berdoa untuk kebahagiaan dunia dan akhirat?
Mari kita berkolaborasi menciptakan legacy baru. Rasanya makin sulit bagi kita menciptakan legacy baru yang bernilai tambah tinggi secara sendirian. Mari saling membantu, bahu membahu, dan gotong royong untuk proyek legacy sehingga kebahagiaan di dunia dan akhirat bisa kita rasakan secara kolektif.
Bogor, 17 April 2020
Ketika SMP saya pernah membaca buku kecil karya Abul A'la Al Maududi yang menceritakan tentang kematian. Buku itulah yang menginspirasi saya untuk menulis refleksi ringan ini. Kehidupan adalah ibarat sebuah taman, yang berisi aneka tanaman dengan komposisi beragam, tergantung pada pencipta taman itu. Supaya taman terlihat indah, kadang ada tangkai yang harus dipotong. Kadang dedaunan juga harus dipangkas. Kadang ada tanaman berbunga yang harus dicabut. Mengapa tanaman berbunga indah harus dicabut sementara rumput tetap dibiarkan tumbuh ?
Kalau kita menjadi bunga, barangkali pertanyaan seperti itulah yang akan muncul. Sebagai bunga, kita tidak bisa melihat komposisi tanaman dalam taman itu. Sebagai rumput kita pun tak pernah tahu mengapa masih dipertahankan. Tentu hanya sang pencipta taman itu yang paling memahami komposisi terbaik. Sebuah komposisi terbaik tidak selalu disumbang oleh bunga. Ternyata dalam konteks sebuah komposisi, rumput pun bisa merupakan kontributor keindahan.
Pencipta taman bisa menikmati keindahan taman ketika melihat dari atas, dengan sudut pandang luas. Sementara bunga dan rumput tak pernah mampu melihat dari atas, karena terlalu sempitnya sudut pandang yang mereka miliki dan posisinya yang selalu di bawah melekat dengan tanah. Tuhan lah pencipta taman kehidupan. Tuhan lah yang tahu komposisi terbaik sebuah taman kehidupan. Kita semua sebagai bagian kecil unsur pembentuk taman tidak pernah mampu membayangkan desain taman seperti apa yang sedang Dia rancang untuk kita.
Yang bisa kita lakukan adalah percaya bahwa Tuhan Maha Tahu tentang komposisi terbaik untuk kita. Kepercayaan inilah sebagai dasar keikhlasan kita untuk menerima keputusan apapun dari Sang Pencipta taman kehidupan. Termasuk keputusan bahwa ada beberapa bunga yang ternyata harus diambil terlebih dahulu meninggalkan kita semua. Yang harus kita yakini adalah bahwa Tuhan mengambilnya karena cinta dan pada saat yang sama kita harus yakini pula bahwa taman yang ditinggalkan bunga-bunga itu adalah taman dengan komposisi baru terbaik yang Dia rancang. Prasangka baik bahwa Tuhan sedang membuat desain terbaik itulah yang harus terus kita jaga. Terus berikhtiar dilandasi sikap percaya, ikhlas, dan berprasangka baik pada keputusan Allah Swt itulah yang mestinya menjadi modal ketenangan dan kebahagiaan hidup di dunia.
Bogor, 11 April 2020
Saya teringat pesan ringan tentang syukur dalam sebuah kultum Ust Syafii Antonio usai sholat Subuh di Mesjid Andalusia setahun yang lalu. Kita bersyukur ketika mendapat rezeki yang banyak dan jabatan yang baik. Itulah kenikmatan dunia yang secara manusiawi kita inginkan. Harta dan tahta adalah nikmat "tangible", sebuah nikmat material yang nyata. Namun sudahkah kita selalu mensyukuri nikmat-nikmat lain yang "intangible"? Nikmat "intangible" adalah nikmat Allah yang sering kita anggap tidak nyata sehingga sering kita lupakan. Apakah kita selalu bersyukur diberi otak yang sehat sehingga daya ingat, kemampuan berpikir, dan fungsi perintah kepada seluruh organ tubuh berjalan baik? Ketika otak mengalami cedera amat sedikit saja akan bedampak sistemik. Peredaran darah yang lancar adalah anugerah yang luar biasa. Bayangkan kalau sedikit saja tersumbat, apa yang terjadi? Kita diberi nikmat mata untuk penglihatan. Kita diberi nikmat telinga untuk pendengaran. Kita diberi nikmat mulut untuk bicara dan juga menjadi pintu makan minum. Kita diberi hidung untuk penciuman. Itu semua adalah adalah kenikmatan yang tak ternilai harganya, namun seringkali kita menganggap biasa-biasa saja.
Namun ketika kita sehat walafiat seringkali kita lupa bahwa seolah-olah itu semua bukanlah sebuah nikmat. Seolah tubuh yang secara biologis sempurna fungsinya adalah hal yang biasa saja, bukan nikmat yang luar biasa. Kita akan merasakan semua itu menjadi nikmat yang luar biasa itu pada saat kita sakit. Pada saat sakit, Kita baru merasakan bahwa sehat itu adalah anugerah yang tak ternilai harganya. Apakah kita harus menunggu sakit baru dulu untuk merasakan nikmatnya sehat?
Kini Covid-19 menghantui kita semua. Kita semua menjadi paranoid. Kita mati-matian mencari info sana-sini tentang gejala Covid-19. Badan meriang sedikit saja kita panik. Mungkin bencana ini adalah cara Allah Swt mengingatkan kita betapa kesehatan itu adalah kenikmatan "intangible" yang harus selalu kita syukuri. Mungkin ini adalah cara Allah Swt untuk mengingatkan bahwa kesehatan adalah nikmat yang tak ternilai harganya. Diberi sakit ringan mungkin itu adalah peringatan ringan. Diberi pandemi Covid-19 mungkin adalah peringatan besar agar kita semakin mensyukuri kenikmatan yang "intangible" ini. Kita diperingatkan mungkin karena kita selama ini fokus memperhatikan nikmat-nikmat "tangible" saja.
Semoga kita kembali menjadi orang-orang yang bersyukur dan selalui dianugerahi kesehatan. Amin YRA
Bogor, 8 April 2020
Kepada seluruh Civitas akademika IPB, saya terus mendoakan agar kita semua selalu dalam kondisi sehat walafiat, dan kita semua menjadi bagian dari solusi atas masalah Covid-19 yang saat ini melanda dunia. Kita doakan saudara-saudara kita yang sedang kurang sehat segera sehat kembali, semoga krisis Covid-19 segera berlalu dan kita semua dapat mengambil hikmah dari semua ini. Kesehatan adalah modal biologis terpenting yang membuat kita bisa terus berkarya menjadi orang yang bermanfaat.
Saat ini kita memang dalam kondisi darurat sehingga terpaksa harus menjalankan Work From Home (WFH) IPB sejak 17 Maret 2020. WFH adalah suatu kebiasaan baru, dan saya menyampaikan apresiasi serta ucapan terima kasih kepada seluruh pimpinan unit kerja, dosen dan tendik yang terus menjalankan tugas mulia meski dari rumah. Khusus kepada petugas di bidang kesehatan, sistem informasi, keamanan, dan sarana prasarana, laboratorium, dan para tendik di beberapa unit kerja yang sebagian masih bertugas di dalam kampus patut kita apresiasi dan sampaikan terima kasih sebesar-besarnya. Sebagian masih menjalankan tugas di kampus agar keamanan kampus tetap terjaga dan memastikan fasilitas serta fungsi pelayanan berjalan dengan baik. Salah satu isu WFH adalah bagaimana meningkatkan produktivitas dan efektivitas waktu saat ada di rumah secara penuh selama lebih dari 15 hari ini. Karena itu ijinkan saya berbagi pemikiran yang sebenarnya merupakan nasihat untuk diri saya sendiri, atau setidaknya refresh apa yang sebenarnya sudah kita ketahui.
Dalam kaitan mengelola waktu ini saya teringat buku Seven Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey. Menurut Covey ada empat kuadran kategori kegiatan dilihat dari sisi penting (important) dan gentingnya (urgent) kegiatan tersebut. "Penting" menunjuk pada kesesuaian pencapaian visi hidup atau visi organisasi kita. "Genting" menunjuk pada mendesak tidaknya kegiatan tersebut dilakukan. Kuadran I berisi kegiatan yang genting dan penting. Kuadran II berisi kegiatan yang tidak genting tapi penting. Kuadran III berisi kegiatan yang genting dan tidak penting. Kuadran IV berisi kegiatan tidak genting dan tidak penting. Kira-kira mayoritas kegiatan kita berada di kuadran yang mana?
Tentu yang paling kita hindari adalah Kuadran IV, yaitu kegiatan yang tidak penting dan tidak genting, seperti menggosip, bermain medsos berlama-lama yang tidak perlu, dan aneka kegiatan mubazir lainnya. Kalau mayoritas kegiatan kita dalam zona ini artinya kita tidak produktif sama sekali. Inilah yang sering disebut menyia-nyiakan waktu. Ada dua kemungkinan kita berada di Zona IV ini : (a) tidak punya visi hidup atau (b) punya visi tapi tidak punya kemampuan manajemen pribadi.
Sebaliknya kalau mayoritas waktu kita habiskan untuk kegiatan di Kuadran I yakni penting dan genting maka yang terjadi adalah stres, lelah, dan krisis. Karena kita dituntut melakukan kegiatan penting namun harus dilakukan sesegera mungkin. Seperti, kegiatan membawa pasien ke rumah sakit : penting dan genting sekaligus. Kita sering merasakan di Kuadran I saat mengerjakan sesuatu yang dikejar deadline. Menunda pekerjaan pada Kuadran I tentu akan mendatangkan masalah. Pada situasi di Kuadran I, kita tidak akan sempat berpikir sesuatu yang strategis dan jangka panjang. Sebaliknya kita akan berada dalam tekanan tinggi untuk menuntaskan kegiatan sesegera mungkin dalam irama kegentingan. Istilah "SKS" atau sistem kebut semalam juga sebenarnya menggambarkan situasi Kuadran I ini.
Covey merekomendasikan kita berada dalam Kuadran II yaitu penting tapi tidak genting. Berada dalam zona ini kita fokus pada kegiatan-kegiatan yang strategis dan selaras dengan pencapaian visi hidup atau visi organisasi kita namun tidak dalam tekanan kegentingan yang tinggi. Contohnya, adalah kegiatan ibadah, merumuskan perencanaan, meningkatkan keahlian, menggali peluang-peluang, review, memikirkan strategi, olah raga, membangun relasi dan jejaring, dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Olah raga dilakukan dengan gembira dan relaks akan membuat tubuh kita semakin sehat. Olah raga penting dan kita selalu mengalokasikan waktu cukup secara reguler. Olah raga tidak ada hubungannya dengan deadline. Kesehatan ini menjadi penting untuk menopang tugas-tugas kita.
Bagi kita selaku dosen contoh konkritnya adalah mempersiapkan materi kuliah, menyiapkan proposal riset, menulis artikel publikasi nasional maupun internasional. Kita sekarang melalui WFH punya relatif banyak waktu sehingga kita dapat mengerjakan itu semua dalam posisi tidak terburu-buru. Kini adalah saatnya kita mereview lagi hasil-hasil riset kita dan menuliskannya dalam bentuk artikel yang memperkaya keilmuan atau mencerahkan publik. Saya percaya kita memiliki materi yang cukup untuk ditulis. Saatnya kita mempersiapkan kuliah online sebaik-baiknya sehingga ketercapaian learning outcome terjamin. Saatnya kita menyiapkan proposal riset dengan ide-ide brilian untuk memecahkan masalah masyarakat. Saatnya kita memikirkan arah IPB 4.0 dan jalan mewujudkannya, termasuk mengisi kerangka besar K2020 sebagai upaya penyempurnaan kurikulum yang adaptif terhadap perubahan disruptif. WFH adalah kesempatan memadu aktivitas penting strategis dengan terus memperkuat kehangatan keluarga. Ingat kata Stanley, bahwa dari 100 faktor sukses ternyata yang menjadi urutan ke-4 adalah dukungan dari pasangan hidup. Intinya, WFH adalah kesempatan kita untuk berlatih fokus pada aktivitas-aktivitas Kuadran II.
Menurut Covey, orang yang fokus pada Kuadran II ini adalah ciri orang proaktif. Orang proaktif tidak membiarkan dunia eksternal mengendalikannya sehingga ia merasa dalam tekanan deadline dan irama kegentingan sebagaimana di Kuadran I dan III. Ciri proaktif antara lain memiliki tujuan dan visi hidup, inisiatif bertindak dan bergerak maju, dan fokus pada lingkaran pengaruh diri keluar. Orang proaktif selalu bertanggungjawab atas keputusannya sendiri dan tidak menyalahkan keadaan atau orang lain. "If you 're proactive, you don't have to wait for circumstances or other people to create perspective expanding experiences. You can conciously create your own", kata Covey. Sebaliknya orang reaktif fokus pada lingkaran pengaruh luar terhadap pikiran dan tindakan diri, sehingga ketika menemui masalah orang reaktif sering menyalahkan keadaan dan orang lain.
Istilah proaktif ala Covey mirip dengan aktif ala Erich Fromm. Menurut Erich Fromm, sebaiknya kita menjadi orang aktif dan bukan orang sibuk. Aktif dan sibuk sama-sama menghabiskan waktu. Lalu apa bedanya ? Bedanya, aktif menunjukkan aktivitas yang dilakukan melalui penjiwaan, atau bekerja dengan passion tinggi. Biasanya aktivitas yang selaras dengan visi akan membuat kita lebih menjiwai. Sebaliknya sibuk adalah aktivitas menghabiskan waktu tanpa penjiwaan atau passion. Kesibukan seperti itu akan menimbulkan alienasi diri. Persis seperti orang yang mengerjakan kegiatan tidak penting, yang tidak selaras dengan visi dan tujuan.
Mari terus latihan agar kita mampu mengelola waktu dengan dominasi kegiatan di Kuadran II, sekaligus latihan untuk menjadi pribadi yang proaktif. Latihan adalah proses pembelajaran. Menjadi manusia pembelajar akan terus diisi dengan latihan-latihan, dan orang proaktif akan selalu tertarik berlatih untuk berbenah diri untuk perbaikan lingkaran pengaruh. Orang proaktif sadar betul bahwa ia adalah pemimpin untuk dirinya sendiri sehingga dialah yang paling berwenang mengambil keputusan untuk masa depannya. Kata pakar, orang proaktif tidak pernah memberi cek kosong kepada orang lain untuk menentukan masa depannya.
Bogor, 1 April 2020