"Pak Rektor, semua aman-aman saja kan?"
Itulah kalimat yang selalu Prof Dr Ahmad Ansori Mattjik (Pak Mattjik) sampaikan manakala beliau masuk ke ruang kerja saya di gedung rektorat IPB. Dalam kesibukannya, beliau selalu menyempatkan diri untuk mampir, meski hanya sekedar menyapa. "Pak Mattjik, saya butuh masukan dan bimbingan Bapak", itu pula kalimat yang selalu saya sampaikan. Silaturahmi spontan 5-10 menit itu, sungguh telah mampu menciptakan energi yang besar buat saya.
Sampai pada satu waktu, saat saya sedang berpikir keras tentang urgensi melakukan perubahan kurikulum IPB untuk merespons era disrupsi dan revolusi industri 4.0. beliau hadir mengetuk pintu silaturahmi. Seolah tak ingin kehilangan kesempatan istimewa tersebut, saya pun menyampaikan bahwa nampaknya IPB perlu mengevaluasi kurikulum mayor-minor dengan mencoba menawarkan perubahan kurikulum baru sesuai dengan tantangan hari ini dan masa depan. Sebagai arsitek kurikulum mayor-minor, rasanya sangat tepat jika saya meminta pendapat beliau tentang rencana perubahan tersebut. Diskusipun mengalir hangat, ibarat komunikasi anak dan bapaknya. "Saya sangat setuju adanya terobosan baru untuk menyesuaikan dengan keadaan. Kebijakan mayor-minor cocok di masa lalu, namun perlu disesuaikan dengan kondisi sekarang. Saya kira memang harus berubah. Jangan takut. Kita harus fokus melihat ke depan. Hidup harus berubah", jawab beliau atas lontaran pertanyaan saya.
Beliau juga mengingatkan bahwa beban kuliah di IPB itu berat sekali. Dulu Pak Andi Hakim Nasution membuat kebijakan sarjana 4 tahun adalah pemadatan kurikulum lama S1 yang sebenarnya levelnya sudah setara magister. Kurikulum 4 tahun itu pun belum mengurangi muatan kuliah yang sebenarnya masih setara S2. Inilah yang sering membuat mahasiswa IPB ketika kuliah S2 di IPB mengatakan bahwa kuliah S1 lebih berat dari S2. Sehingga, beliau mendukung adanya kurikulum 2020 IPB. Jawaban beliau sungguh melegakan sekaligus semakin meneguhkan tekad akan pentingnya perubahan kurikulum yang harus segera dilakukan.
Hidup Harus Berubah!
Rupanya moto ini tidak saja disampaikan kepada saya, melainkan juga untuk beliau sendiri saat menjadi Rektor IPB 2002-2007. Banyak sekali terobosan baru yang beliau lakukan: restrukturisasi departemen, kurikulum mayor-minor, pembangunan botani square, perintisan IPB sebagai BHMN, pendirian Fakultas Ekologi Manusia, dan masih banyak lagi. Termasuk pengubahan Dharma wanita menjadi Agrianita dan pembangunan Agriananda, taman kanak-kanak untuk putra-putri dosen dan tenaga kependidikan. Karena itu capaian IPB hari ini tidak terlepas dari hasil sentuhan beliau pada masanya.
Di mata saya, beliau adalah sosok pribadi yang humble, terbuka atas ide-ide baru dan berorientasi pada masa depan. “Perubahan adalah keniscayaan”, tegas beliau, sehingga kita harus berani untuk selalu membuat terobosan-terobosan baru. Beliau sangat mengapresiasi terobosan penerimaan mahasiswa melalui jalur ketua OSIS. Beliau juga melontarkan ide akan pentingnya segera membuka sains data di FMIPA sebagai tantangan kebutuhan masa depan. Spirit yang terus coba beliau bangun makin meyakinkan bahwa meski usianya sudah 75 tahun, sebenarnya beliau masih tergolong muda karena ciri orang muda adalah orientasinya ke masa depan, bukan masa lalu.
Itulah Pak Mattjik. Pemimpin yang visioner, open mind, tegas, hands-on, orientasi pada future practice, dan selalu pasang badan untuk melindungi anak buahnya. Ia juga mati-matian mempertahankan idenya dengan segala risiko yang ada. Berdebat dengan beliau harus logis, rasional, obyektif. Kini beliau telah pergi meninggalkan kita dengan berbagai peninggalan yang amat berharga: ilmu, spirit, keteladanan, dan segudang legacy yang menyejarah dan memberikan impact pada perubahan. Semoga ilmu dan karya-karyanya menjadi amal soleh, yang membuat pahala terus mengalir.
Dalam karya-karyanya tersimpan pesan kuat: Hidup Harus berubah!
Sentul, 20 Mei 2021
(Arif Satria)
PAK MATTJIK: HIDUP HARUS BERUBAH!
- IPB Press
- Jun 21, 2021
"Pak Rektor, semua aman-aman saja kan?"
Itulah kalimat yang selalu Prof Dr Ahmad Ansori Mattjik (Pak Mattjik) sampaikan manakala beliau masuk ke ruang kerja saya di gedung rektorat IPB. Dalam kesibukannya, beliau selalu menyempatkan diri untuk mampir, meski hanya sekedar menyapa. "Pak Mattjik, saya butuh masukan dan bimbingan Bapak", itu pula kalimat yang selalu saya sampaikan. Silaturahmi spontan 5-10 menit itu, sungguh telah mampu menciptakan energi yang besar buat saya.
Sampai pada satu waktu, saat saya sedang berpikir keras tentang urgensi melakukan perubahan kurikulum IPB untuk merespons era disrupsi dan revolusi industri 4.0. beliau hadir mengetuk pintu silaturahmi. Seolah tak ingin kehilangan kesempatan istimewa tersebut, saya pun menyampaikan bahwa nampaknya IPB perlu mengevaluasi kurikulum mayor-minor dengan mencoba menawarkan perubahan kurikulum baru sesuai dengan tantangan hari ini dan masa depan. Sebagai arsitek kurikulum mayor-minor, rasanya sangat tepat jika saya meminta pendapat beliau tentang rencana perubahan tersebut. Diskusipun mengalir hangat, ibarat komunikasi anak dan bapaknya. "Saya sangat setuju adanya terobosan baru untuk menyesuaikan dengan keadaan. Kebijakan mayor-minor cocok di masa lalu, namun perlu disesuaikan dengan kondisi sekarang. Saya kira memang harus berubah. Jangan takut. Kita harus fokus melihat ke depan. Hidup harus berubah", jawab beliau atas lontaran pertanyaan saya.
Beliau juga mengingatkan bahwa beban kuliah di IPB itu berat sekali. Dulu Pak Andi Hakim Nasution membuat kebijakan sarjana 4 tahun adalah pemadatan kurikulum lama S1 yang sebenarnya levelnya sudah setara magister. Kurikulum 4 tahun itu pun belum mengurangi muatan kuliah yang sebenarnya masih setara S2. Inilah yang sering membuat mahasiswa IPB ketika kuliah S2 di IPB mengatakan bahwa kuliah S1 lebih berat dari S2. Sehingga, beliau mendukung adanya kurikulum 2020 IPB. Jawaban beliau sungguh melegakan sekaligus semakin meneguhkan tekad akan pentingnya perubahan kurikulum yang harus segera dilakukan.
Hidup Harus Berubah!
Rupanya moto ini tidak saja disampaikan kepada saya, melainkan juga untuk beliau sendiri saat menjadi Rektor IPB 2002-2007. Banyak sekali terobosan baru yang beliau lakukan: restrukturisasi departemen, kurikulum mayor-minor, pembangunan botani square, perintisan IPB sebagai BHMN, pendirian Fakultas Ekologi Manusia, dan masih banyak lagi. Termasuk pengubahan Dharma wanita menjadi Agrianita dan pembangunan Agriananda, taman kanak-kanak untuk putra-putri dosen dan tenaga kependidikan. Karena itu capaian IPB hari ini tidak terlepas dari hasil sentuhan beliau pada masanya.
Di mata saya, beliau adalah sosok pribadi yang humble, terbuka atas ide-ide baru dan berorientasi pada masa depan. “Perubahan adalah keniscayaan”, tegas beliau, sehingga kita harus berani untuk selalu membuat terobosan-terobosan baru. Beliau sangat mengapresiasi terobosan penerimaan mahasiswa melalui jalur ketua OSIS. Beliau juga melontarkan ide akan pentingnya segera membuka sains data di FMIPA sebagai tantangan kebutuhan masa depan. Spirit yang terus coba beliau bangun makin meyakinkan bahwa meski usianya sudah 75 tahun, sebenarnya beliau masih tergolong muda karena ciri orang muda adalah orientasinya ke masa depan, bukan masa lalu.
Itulah Pak Mattjik. Pemimpin yang visioner, open mind, tegas, hands-on, orientasi pada future practice, dan selalu pasang badan untuk melindungi anak buahnya. Ia juga mati-matian mempertahankan idenya dengan segala risiko yang ada. Berdebat dengan beliau harus logis, rasional, obyektif. Kini beliau telah pergi meninggalkan kita dengan berbagai peninggalan yang amat berharga: ilmu, spirit, keteladanan, dan segudang legacy yang menyejarah dan memberikan impact pada perubahan. Semoga ilmu dan karya-karyanya menjadi amal soleh, yang membuat pahala terus mengalir.
Dalam karya-karyanya tersimpan pesan kuat: Hidup Harus berubah!
Sentul, 20 Mei 2021
(Arif Satria)