ipbprinting - Memajukan UKM Indonesia

Kebebasan Akademik dan Transisi Demokrasi

img-
Bagikan:
  • IPB Press    Jun 16, 2021

Optimisme dalam membangun bangsa adalah keharusan karena akan memberi energi positif dalam berpikir dan bertindak. Optimisme kini mulai mengalir dan momentumnya adalah 2045 persis 100 tahun Indonesia merdeka. Diperkirakan Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia dengan PDB USD 7,3 Triliun dan pendapatan perkapita USD 25 ribu. Tidak dipungkiri, saat ini kita belum dalam kondisi ideal. Dalam banyak indikator ternyata kita masih di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Indeks inovasi global Indonesia berada di urutan 85, bandingkan dengan Singapura (8), Malaysia (35), Thailand (43), Vietnam (42), Filipina (54) dan Brunei (71). Pada 2019 Indeks daya saing global kita di urutan 50 dunia dan urutan keempat di Asia Tenggara di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Indeks ketahanan pangan Global 2019 kita nomor 62 dunia dan kelima di Asia Tenggara.

 

Dalam Food Sustainability Index (FSI) tahun 2018, Indonesia mendapat skor 59,1, tertinggal dari Ethiopia 68,5 yang dulu kita kenal sebagai daerah kelaparan. Food Loss and Waste atau FLW (kehilangan dan pemborosan pangan) kita juga tergolong tinggi. Menurut FAO, FLW kita sekitar 300 kg/kapita/tahun dan tergolong nomor 2 di dunia, setelah Arab Saudi. FLW telah menjadi perhatian dunia karena sepertiga produksi pangan dunia hilang dan mengalami pemborosan. Sebenarnya dengan mengatasi FLW ini saja, maka ketersediaan pangan kita akan meningkat. Belum lagi kalau kita melihat indeks kelaparan global versi IFPRI bahwa skor indeks kita sebesar 21 dan skor negara maju kurang dari 5. Pada tahun 1992 skor kita 35,8 dan selama 22 tahun hingga tahun 2016 turun 12,9%, atau dirata-rata turun 0,6 poin pertahun. Bila tidak ada usaha khusus yang sistematis dan serius, dengan penurunan 0.6 pertahun maka diperlukan waktu 27 tahun untuk sama dengan negara maju. Tentu kita mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengatasi masalah stunting, karena stunting ini menjadi variabel penting dalam indeks kelaparan global. Bila masalah ini ditangani dengan kerja ekstra keras, maka waktu yang diperlukan untuk setara negara maju akan lebih cepat lagi. Fakta-fakta tersebut di atas mestinya tidak membuat kita berkecil hati. Fakta-fakta tersebut mestinya membuat kita makin serius untuk memikirkan masa depan bangsa ini.

 

Dunia manapun sedang mengalami kegalauan tersendiri karena yang dihadapi adalah ketidakpastian. Inggris galau karena ketidakpastian masa depannya pasca keputusannya tentang Brexit. Singapura galau karena ketidakpastian yang akan muncul pasca beroperasinya Terusan Kra proyek Thailand dan Tiongkok yang berpotensi akan membunuh Pelabuhan Singapura. Dengan melewati Terusan tersebut bisa menghemat sekitar 1200 km dibandingkan jalur konvensional. Amerika Serikat juga dihantui dinamika politik internal yang bisa membuat ketidakpastian. Negara-negara produsen elektronik galau akibat disrupsi inovasi yang membuat produknya menjadi obsolete.

 

VUCA dan SDM UNGGUL

Memang kita hidup di era VUCA yang penuh dengan guncangan perubahan disertai ketidakpastian dan situasi yang makin kompleks. Wajar bila kemudian VUCA disebut-sebut akan membuat kita fragile. Namun demikian fragility akibat VUCA tersebut dapat kita konversi menjadi agility bila kita siap dengan skill baru, antara lain menciptakan kekuatan visi baru tentang masa depan, kreativitas, risk literacy, complex problem solving, fleksibilitas, dan kolaborasi. Sebut saja studi Mc Kinsey (2019) yang menunjukkan bahwa di Indonesia ada 23 juta pekerjaan yang akan digantikan mesin akibat otomatisasi. Namun pada saat yang sama 27 juta hingga 46 juta pekerjaan baru akan tercipta. Artinya, VUCA tetap membuka peluang bagi orangorang yang adaptif. Pertanyaannya bagaimana posisi perguruan tinggi di Indonesia di tengah keharusan optimisme namun dengan fakta-fakta yang membuat kita miris serta situasi VUCA yang membingungkan? Secara sederhana postulatnya adalah Indonesia maju butuh SDM unggul dan untuk SDM unggul butuh perguruan tinggi. Namun apakah perguruan tinggi atau kampus menjamin akan menghasilkan SDM unggul? Apa itu SDM unggul? SDM unggul adalah yang adaptif terhadap perubahan. Charles Darwin mengingatkan kita bahwa spesies yang bisa bertahan bukanlah yang terkuat dan terpintar tetapi yang responsif terhadap perubahan. Responsif terhadap perubahan mensyaratkan sejumlah softskill seperti kemampuan belajar cepat, kelincahan, fleksibilitas, dan future mindset.

 

Perubahan hampir selalu membawa kebaruan. Menghadapi kebaruan butuh belajar cepat sehingga butuh mental sebagai pembelajar yang lincah. Future mindset menarik garis ke depan dengan penuh keyakinan bahwa perubahan adalah keniscayaan. Future mindset selalu siap dan sigap menghadapi perubahan dan ketidakpastian. Namun kecepatan dan kelincahan juga diperlukan menghadapi volatilitas. Ketidakpastian harus dihadapi dengan kolaborasi. Ke depan, Inovasi yang dahsyatpun umumnya yang berbasis kolaborasi. Kita tak mungkin sendiri-sendiri menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian itu. Kolaborasi memungkinkan terjadinya akumulasi potensi untuk menjadi kekuatan baru. Namun kolaborasi yang kuat akan tercipta bila didasari oleh rasa saling percaya yang tinggi. Masyarakat di negara maju dicirikan dengan high trust society, sebagaimana studi Fukuyama. Unsur penting dalam membangun high trust society adalah integritas, dan integritas akan muncul dari kejujuran. Hal ini selaras dengan hasil riset T. Stanley yang menyebutkan bahwa dari 100 faktor yang membuat orang sukses ternyata IQ berada di urutan ke 21, sekolah di sekolah favorit di urutan 23, dan lulus dengan nilai terbaik berada di urutan 30. Faktor yang menempati urutan 5 besar adalah: kejujuran, disiplin, skill interpersonal yang baik, dukungan dari pasangan hidup, dan bekerja lebih keras dari orang lain. Jadi menghadapi masa depan memerlukan integritas yang kuat, dan dengan demikian SDM unggul dicirikan integritas yang kuat, soft skill yang bagus, dan hardskill yang tangguh. Bagaimana kampus mampu mencetak karakteristik SDM unggul dengan kekuatan skill dan integritas seperti di atas? Apakah kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik menjadi faktor penting?

 

KEBEBASAN AKADEMIK

Kampus memiliki kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Kebebasan akademik adalah modal pokok bagi kampus untuk tumbuh berkembang dan menghasilkan SDM unggul. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 pasal 9 ayat 1, Kebebasan Akademik adalah kebebasan sivitas akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara pertanggung jawab. Kebebasan mimbar akademik adalah kewenangan yang dimiliki oleh profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu, cabang ilmu, atau bidang yang dikajinya.

 

Kebebasan Akademik dan kebebasan mimbar akademik akan menjadi atmosfer krusial untuk membangun kreativitas dan berpikir kritis. Kreativitas dan berpikir kritis tersebut adalah skill yang diperlukan di era VUCA ini. Kreativitas kini menjadi modal yang tak terbatas dan sangat menentukan. Sebagaimana dikatakan Jack Ma bahwa kompetisi mendatang adalah kompetisi berbasis kreativitas dan imajinasi. Dulu orang berkompetisi berbasis pada seberapa banyak modal finansial yang dimiliki. Namun kini kondisi sudah berubah dan modal finansial, pengetahuan dan aset sudah dikalahkan modal kreativitas. Hampir semua Unicorn baru yang muncul dan lalu mengalahkan perusahaan-perusahaan konvensional adalah karena berbekal kreativitas yang tinggi. Jadi, kreativitas akan menjadi instrumen penting dalam mobilitas vertikal seseorang.

 

Begitu pula, berpikir kritis adalah modal penting menghadapi ambiguitas yang kini terjadi. Era sekarang dibanjiri dengan informasi yang memang makin terbuka. Setiap orang semakin mudah mengakses informasi. Di tengah banjir informasi yang dapat disebarkan oleh siapapun dan kapan pun, serta banyak aliran baru dan bahkan konsep-konsep baru yang bermunculan, diperlukan kemampuan berpikir kritis untuk menyaringnya. Bagaimana kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik mampu menciptakan kreativitas dan berpikir kritis? Ukuran kehidupan kampus adalah rasionalitas. Sebagai lumbung rasionalitas, maka kampus membuka kesempatan kepada siapapun di dalamnya untuk berpikir untuk menghasilkan pemikiran baru dan maupun berpikir untuk merespons pemikiran lain. Interaksi rasional di dalam kampus terjadi karena yang diperbincangkan adalah sains dan teknologi. Sains dan teknologi bertumpu pada rasionalitas. Sains dan teknologi semakin berkembang di saat kreativitas dan kemampuan berpikir kritis diagungkan, dan itu bisa terjadi bila rasionalitas juga diagungkan. Rasionalitas adalah steering media yang membuat kampus tetap eksis. Kampus hidup karena rasionalitas tumbuh subur dan mendapat tempat terhormat. Semakin maju kampus biasanya semakin banyak alokasi waktu orang-orang di dalamnya untuk mempertukarkan pikiran-pikiran rasionalnya.

 

Apa hubungan antara kebebasan akademik dan demokrasi? Kebebasan akademik itu sebenarnya salah satu bentuk demokrasi secara mikro. Kampus dituntut demokratis karena memang sejatinya kampus dibesarkan dengan cara-cara demokratis. Betapa tidak, yang diagungkan adalah rasionalitas dan ekspresi apapun sepanjang memenuhi standar rasionalitas sangat dimungkinkan di kampus. Disinilah yang membedakan “demokrasi” di kampus dengan demokrasi secara makro di luar kampus. Tradisi “demokratis” dengan ciri kebebasan akademik di atas membuat kampus memiliki ciri pokok, yaitu rasional. Rasionalitas kampus menjadi pembentuk watak kampus berikutnya yaitu independen. Independensi inilah yang kemudian membuat kampus semakin bernilai atau tidak. Semakin independen sebuah kampus, artinya semakin mengagungkan rasionalitasnya. Sebaliknya semakin tidak independen sebuah kampus, biasanya rasionalitas semakin ditanggalkan dan diganti dengan ikatan kepentingan sebagaimana berlaku dalam dunia politik praktis. Kehidupan rasional di kampus adalah modal bagi kampus dalam memposisikan diri dalam demokrasi. Banyak orang berkepentingan terhadap kampus. Namun politisi yang negarawan tidak akan pernah melakukan langkah-langkah yang merusak marwah kampus sebagai garda terdepan penjaga rasionalitas dan akal sehat. Kaum negarawan akan terus mempertahankan kampus sebagai aset demokrasi. Kebebasan akademik dan mimbar akademik yang kuat akan memperkokoh independensi kampus dari tarikan-tarikan kepentingan politik praktis. Independensi dan idealisme tersebut adalah modal kampus dalam menjaga kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Namun apakah kebebasan akademik merupakan bentuk kebebasan sebebas-bebasnya tanpa tujuan?

 

TRANSISI DEMOKRASI

Kebebasan akademik harus diletakkan dalam kepentingan bangsa ke depan. Kebebasan akademik merupakan instrumen demokrasi yang seharusnya melahirkan gagasan dan tindakan yang mengekspresikan sistem yang menjamin terwujudkan kesejahteran dan keadilan bagi seluruh rakyat. Dalam kerangka ini, ada sejumlah langkah yang harus kita lakukan.

 

Pertama, harus dipahami struktur ekonomi dan demografi kita. Ekonomi pedesaan beserta penduduk di dalamnya yang berbasis agro-maritim masih menjadi penciri. Berbicara demokrasi berarti berbicara tentang mayoritas penduduk beserta ciri-ciri ekonominya. Tak bisa dipungkiri bahwa petani, nelayan, peternak, masyarakat sekitar hutan dan masyarakat pedesaan lainnya masih dominan. Dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah disertai dengan karakteristik demografi yang seperti itu, tidak ada jalan lain selain harus memperkuat sektor agromaritim Indonesia. Membangun ekonomi berbasis pelaku mayoritas itulah salah satu ciri demokrasi ekonomi.

 

Kedua, harus dipahami bahwa demokrasi harus dilakukan secara bertahap. Saat ini nampak bahwa demokrasi politik lebih dominan dari demokrasi ekonomi. Padahal yang saat ini diperlukan adalah demokrasi ekonomi karena langsung berhubungan dengan kepentingan kebutuhan rakyat. Dengan demikian, demokrasi ekonomi harus terus diupayakan dengan memperkuat basis pelaku mayoritas yakni agro-maritim. Upaya penguatan sektor agro-maritim dimulai dengan mengatasi ketimpangan agraria dengan memberi akses kepada pelakupelaku agro-maritim terhadap sumber-sumber agraria, baik tanah maupun air. Namun demikian akses pada sumber-sumber agraria ini harus diiringi dengan access reform, yaitu teknologi, modal, pasar, dan SDM. Ini bisa terjadi bila kita menempatkan agro-maritim sebagai rezim “produksi”, dan bukan rezim “perdagangan” semata. Rezim produksi akan mengkondisikan terciptanya nilai tambah dari hasil proses produksi yang dilakukan oleh rakyat. Sementara itu rezim “perdagangan” lebih fokus pada aspek ketersediaan barang dan tidak peduli dari mana barang itu berasal. Disinilah rezim “perdagangan” rentan terhadap praktek perburuan rente yang tidak jarang memberi dampak negatif bagi terwujudnya keadilan. Anehnya rezim “perdagangan” semakin subur di era demokrasi, sehingga muncul fenomena seperti diungkapkan Giddens (1999) tentang paradox democracy. Paradox democracy muncul akibat kekecewaan dan ketidakpuasan rakyat terhadap demokrasi, karena demokrasi yang sudah mapan ditunggangi elit yang memanfaatkan kewenangan yang merugikan banyak pihak.

 

Ketiga, harus dipahami bahwa sangat kuat harapan publik kepada kampus dalam kerangka demokrasi ekonomi. Kampus diharapkan hadir dengan inovasi-inovasi unggul yang menjawab kebutuhan pasar. Dengan Revolusi Industri 4.0, maka kampus pun dituntut mampu hadir dengan inovasi 4.0 yang menjadi solusi bagi masyarakat, industri dan pemerintah. Lahirnya Inovasi 4.0 unggul dengan aplikasi IoT, kecerdasan buatan, drone, blockchain, dan robotic harus dimulai dari strategi riset yang baik. Kampus harus mulai mengembangkan riset-riset transformatif yang berorientasi pada perubahan. Dalam kerangka demokrasi ekonomi dimana ekonomi rakyat harus kuat, maka kampus harus memiliki keberpihakan. Keberpihakan ini akan kuat bila kita memiliki nasionalisme yang kuat. Tugas memperkuat nasionalisme dalam inovasi ini sekaligus menjawab pertanyaan:” Inovasi untuk siapa?” Inovasi harus berpihak. Inovasi 4.0 haruslah inovasi yang membumi dan bermanfaat bagi rakyat luas pelaku di akar rumput. Inovasi yang memberdayakan ini akan memperkuat basis ekonomi rakyat yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada kematangan demokrasi politik.

 

Keempat, harus dipahami bahwa Indonesia masih dalam transisi demokrasi. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, ternyata kita masih fokus pada prosedur demokrasi dan belum sampai pada substansi. Nilai-nilai demokrasi tidak saja belum dimiliki rakyat kebanyakan tetapi juga para elit. Tidak puasnya elit yang kalah dalam Pilkada yang kemudian menyulut kerusuhan di berbagai daerah adalah bukti belum matangnya kita berdemokrasi. Dalam era transisi ini, maka kampus memegang peran penting. Tidak seperti kampus di negara maju yang sudah tidak lagi diperlukan perannya dalam demokrasi karena peran tersebut sudah bisa dimainkan oleh masyarakat luas, di dunia ketiga seperti Indonesia justru sebaliknya. Kampus dengan independensinya sangat ditunggu-tunggu. Kampus ditunggu perannya sebagai penengah ketika polarisasi sosial meluas. Kampus ditunggu perannya sebagai penyejuk ketika suasana ruang publik memanas. Kampus ditunggu perannya sebagai agen kontrol sosial ketika lembaga resmi pengontrol kurang berdaya. Kampus ditunggu perannya sebagai kontributor pemikiran kebijakan pembangunan ketika kebijakan diambil tidak berbasis akal sehat lagi. Namun peran kampus ini harus dipahami semua pihak, sehingga bukan hanya tugas akademisi saja untuk menjaga kampus, tapi juga tugas pemerintah dan politisi untuk turut menjaga marwah kampus.

 

PENUTUP

Kampus dengan kebebasan akademiknya semakin ditantang untuk menghadapi perubahan. Era disrupsi tengah kita hadapi, dan kita harus ambil salah satu dari dua pilihan: to disrupt atau to be disrupted. Semoga kampus kembali terlibat dalam proses sejarah sehingga selalu mencetak sejarah baru di Indonesia.

 

Bogor, 27 Desember 2019

img-

Kebebasan Akademik dan Transisi Demokrasi

  • IPB Press
  • Jun 16, 2021
Bagikan:

Optimisme dalam membangun bangsa adalah keharusan karena akan memberi energi positif dalam berpikir dan bertindak. Optimisme kini mulai mengalir dan momentumnya adalah 2045 persis 100 tahun Indonesia merdeka. Diperkirakan Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia dengan PDB USD 7,3 Triliun dan pendapatan perkapita USD 25 ribu. Tidak dipungkiri, saat ini kita belum dalam kondisi ideal. Dalam banyak indikator ternyata kita masih di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Indeks inovasi global Indonesia berada di urutan 85, bandingkan dengan Singapura (8), Malaysia (35), Thailand (43), Vietnam (42), Filipina (54) dan Brunei (71). Pada 2019 Indeks daya saing global kita di urutan 50 dunia dan urutan keempat di Asia Tenggara di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Indeks ketahanan pangan Global 2019 kita nomor 62 dunia dan kelima di Asia Tenggara.

 

Dalam Food Sustainability Index (FSI) tahun 2018, Indonesia mendapat skor 59,1, tertinggal dari Ethiopia 68,5 yang dulu kita kenal sebagai daerah kelaparan. Food Loss and Waste atau FLW (kehilangan dan pemborosan pangan) kita juga tergolong tinggi. Menurut FAO, FLW kita sekitar 300 kg/kapita/tahun dan tergolong nomor 2 di dunia, setelah Arab Saudi. FLW telah menjadi perhatian dunia karena sepertiga produksi pangan dunia hilang dan mengalami pemborosan. Sebenarnya dengan mengatasi FLW ini saja, maka ketersediaan pangan kita akan meningkat. Belum lagi kalau kita melihat indeks kelaparan global versi IFPRI bahwa skor indeks kita sebesar 21 dan skor negara maju kurang dari 5. Pada tahun 1992 skor kita 35,8 dan selama 22 tahun hingga tahun 2016 turun 12,9%, atau dirata-rata turun 0,6 poin pertahun. Bila tidak ada usaha khusus yang sistematis dan serius, dengan penurunan 0.6 pertahun maka diperlukan waktu 27 tahun untuk sama dengan negara maju. Tentu kita mengapresiasi langkah pemerintah untuk mengatasi masalah stunting, karena stunting ini menjadi variabel penting dalam indeks kelaparan global. Bila masalah ini ditangani dengan kerja ekstra keras, maka waktu yang diperlukan untuk setara negara maju akan lebih cepat lagi. Fakta-fakta tersebut di atas mestinya tidak membuat kita berkecil hati. Fakta-fakta tersebut mestinya membuat kita makin serius untuk memikirkan masa depan bangsa ini.

 

Dunia manapun sedang mengalami kegalauan tersendiri karena yang dihadapi adalah ketidakpastian. Inggris galau karena ketidakpastian masa depannya pasca keputusannya tentang Brexit. Singapura galau karena ketidakpastian yang akan muncul pasca beroperasinya Terusan Kra proyek Thailand dan Tiongkok yang berpotensi akan membunuh Pelabuhan Singapura. Dengan melewati Terusan tersebut bisa menghemat sekitar 1200 km dibandingkan jalur konvensional. Amerika Serikat juga dihantui dinamika politik internal yang bisa membuat ketidakpastian. Negara-negara produsen elektronik galau akibat disrupsi inovasi yang membuat produknya menjadi obsolete.

 

VUCA dan SDM UNGGUL

Memang kita hidup di era VUCA yang penuh dengan guncangan perubahan disertai ketidakpastian dan situasi yang makin kompleks. Wajar bila kemudian VUCA disebut-sebut akan membuat kita fragile. Namun demikian fragility akibat VUCA tersebut dapat kita konversi menjadi agility bila kita siap dengan skill baru, antara lain menciptakan kekuatan visi baru tentang masa depan, kreativitas, risk literacy, complex problem solving, fleksibilitas, dan kolaborasi. Sebut saja studi Mc Kinsey (2019) yang menunjukkan bahwa di Indonesia ada 23 juta pekerjaan yang akan digantikan mesin akibat otomatisasi. Namun pada saat yang sama 27 juta hingga 46 juta pekerjaan baru akan tercipta. Artinya, VUCA tetap membuka peluang bagi orangorang yang adaptif. Pertanyaannya bagaimana posisi perguruan tinggi di Indonesia di tengah keharusan optimisme namun dengan fakta-fakta yang membuat kita miris serta situasi VUCA yang membingungkan? Secara sederhana postulatnya adalah Indonesia maju butuh SDM unggul dan untuk SDM unggul butuh perguruan tinggi. Namun apakah perguruan tinggi atau kampus menjamin akan menghasilkan SDM unggul? Apa itu SDM unggul? SDM unggul adalah yang adaptif terhadap perubahan. Charles Darwin mengingatkan kita bahwa spesies yang bisa bertahan bukanlah yang terkuat dan terpintar tetapi yang responsif terhadap perubahan. Responsif terhadap perubahan mensyaratkan sejumlah softskill seperti kemampuan belajar cepat, kelincahan, fleksibilitas, dan future mindset.

 

Perubahan hampir selalu membawa kebaruan. Menghadapi kebaruan butuh belajar cepat sehingga butuh mental sebagai pembelajar yang lincah. Future mindset menarik garis ke depan dengan penuh keyakinan bahwa perubahan adalah keniscayaan. Future mindset selalu siap dan sigap menghadapi perubahan dan ketidakpastian. Namun kecepatan dan kelincahan juga diperlukan menghadapi volatilitas. Ketidakpastian harus dihadapi dengan kolaborasi. Ke depan, Inovasi yang dahsyatpun umumnya yang berbasis kolaborasi. Kita tak mungkin sendiri-sendiri menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian itu. Kolaborasi memungkinkan terjadinya akumulasi potensi untuk menjadi kekuatan baru. Namun kolaborasi yang kuat akan tercipta bila didasari oleh rasa saling percaya yang tinggi. Masyarakat di negara maju dicirikan dengan high trust society, sebagaimana studi Fukuyama. Unsur penting dalam membangun high trust society adalah integritas, dan integritas akan muncul dari kejujuran. Hal ini selaras dengan hasil riset T. Stanley yang menyebutkan bahwa dari 100 faktor yang membuat orang sukses ternyata IQ berada di urutan ke 21, sekolah di sekolah favorit di urutan 23, dan lulus dengan nilai terbaik berada di urutan 30. Faktor yang menempati urutan 5 besar adalah: kejujuran, disiplin, skill interpersonal yang baik, dukungan dari pasangan hidup, dan bekerja lebih keras dari orang lain. Jadi menghadapi masa depan memerlukan integritas yang kuat, dan dengan demikian SDM unggul dicirikan integritas yang kuat, soft skill yang bagus, dan hardskill yang tangguh. Bagaimana kampus mampu mencetak karakteristik SDM unggul dengan kekuatan skill dan integritas seperti di atas? Apakah kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik menjadi faktor penting?

 

KEBEBASAN AKADEMIK

Kampus memiliki kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Kebebasan akademik adalah modal pokok bagi kampus untuk tumbuh berkembang dan menghasilkan SDM unggul. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 pasal 9 ayat 1, Kebebasan Akademik adalah kebebasan sivitas akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara pertanggung jawab. Kebebasan mimbar akademik adalah kewenangan yang dimiliki oleh profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu, cabang ilmu, atau bidang yang dikajinya.

 

Kebebasan Akademik dan kebebasan mimbar akademik akan menjadi atmosfer krusial untuk membangun kreativitas dan berpikir kritis. Kreativitas dan berpikir kritis tersebut adalah skill yang diperlukan di era VUCA ini. Kreativitas kini menjadi modal yang tak terbatas dan sangat menentukan. Sebagaimana dikatakan Jack Ma bahwa kompetisi mendatang adalah kompetisi berbasis kreativitas dan imajinasi. Dulu orang berkompetisi berbasis pada seberapa banyak modal finansial yang dimiliki. Namun kini kondisi sudah berubah dan modal finansial, pengetahuan dan aset sudah dikalahkan modal kreativitas. Hampir semua Unicorn baru yang muncul dan lalu mengalahkan perusahaan-perusahaan konvensional adalah karena berbekal kreativitas yang tinggi. Jadi, kreativitas akan menjadi instrumen penting dalam mobilitas vertikal seseorang.

 

Begitu pula, berpikir kritis adalah modal penting menghadapi ambiguitas yang kini terjadi. Era sekarang dibanjiri dengan informasi yang memang makin terbuka. Setiap orang semakin mudah mengakses informasi. Di tengah banjir informasi yang dapat disebarkan oleh siapapun dan kapan pun, serta banyak aliran baru dan bahkan konsep-konsep baru yang bermunculan, diperlukan kemampuan berpikir kritis untuk menyaringnya. Bagaimana kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik mampu menciptakan kreativitas dan berpikir kritis? Ukuran kehidupan kampus adalah rasionalitas. Sebagai lumbung rasionalitas, maka kampus membuka kesempatan kepada siapapun di dalamnya untuk berpikir untuk menghasilkan pemikiran baru dan maupun berpikir untuk merespons pemikiran lain. Interaksi rasional di dalam kampus terjadi karena yang diperbincangkan adalah sains dan teknologi. Sains dan teknologi bertumpu pada rasionalitas. Sains dan teknologi semakin berkembang di saat kreativitas dan kemampuan berpikir kritis diagungkan, dan itu bisa terjadi bila rasionalitas juga diagungkan. Rasionalitas adalah steering media yang membuat kampus tetap eksis. Kampus hidup karena rasionalitas tumbuh subur dan mendapat tempat terhormat. Semakin maju kampus biasanya semakin banyak alokasi waktu orang-orang di dalamnya untuk mempertukarkan pikiran-pikiran rasionalnya.

 

Apa hubungan antara kebebasan akademik dan demokrasi? Kebebasan akademik itu sebenarnya salah satu bentuk demokrasi secara mikro. Kampus dituntut demokratis karena memang sejatinya kampus dibesarkan dengan cara-cara demokratis. Betapa tidak, yang diagungkan adalah rasionalitas dan ekspresi apapun sepanjang memenuhi standar rasionalitas sangat dimungkinkan di kampus. Disinilah yang membedakan “demokrasi” di kampus dengan demokrasi secara makro di luar kampus. Tradisi “demokratis” dengan ciri kebebasan akademik di atas membuat kampus memiliki ciri pokok, yaitu rasional. Rasionalitas kampus menjadi pembentuk watak kampus berikutnya yaitu independen. Independensi inilah yang kemudian membuat kampus semakin bernilai atau tidak. Semakin independen sebuah kampus, artinya semakin mengagungkan rasionalitasnya. Sebaliknya semakin tidak independen sebuah kampus, biasanya rasionalitas semakin ditanggalkan dan diganti dengan ikatan kepentingan sebagaimana berlaku dalam dunia politik praktis. Kehidupan rasional di kampus adalah modal bagi kampus dalam memposisikan diri dalam demokrasi. Banyak orang berkepentingan terhadap kampus. Namun politisi yang negarawan tidak akan pernah melakukan langkah-langkah yang merusak marwah kampus sebagai garda terdepan penjaga rasionalitas dan akal sehat. Kaum negarawan akan terus mempertahankan kampus sebagai aset demokrasi. Kebebasan akademik dan mimbar akademik yang kuat akan memperkokoh independensi kampus dari tarikan-tarikan kepentingan politik praktis. Independensi dan idealisme tersebut adalah modal kampus dalam menjaga kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Namun apakah kebebasan akademik merupakan bentuk kebebasan sebebas-bebasnya tanpa tujuan?

 

TRANSISI DEMOKRASI

Kebebasan akademik harus diletakkan dalam kepentingan bangsa ke depan. Kebebasan akademik merupakan instrumen demokrasi yang seharusnya melahirkan gagasan dan tindakan yang mengekspresikan sistem yang menjamin terwujudkan kesejahteran dan keadilan bagi seluruh rakyat. Dalam kerangka ini, ada sejumlah langkah yang harus kita lakukan.

 

Pertama, harus dipahami struktur ekonomi dan demografi kita. Ekonomi pedesaan beserta penduduk di dalamnya yang berbasis agro-maritim masih menjadi penciri. Berbicara demokrasi berarti berbicara tentang mayoritas penduduk beserta ciri-ciri ekonominya. Tak bisa dipungkiri bahwa petani, nelayan, peternak, masyarakat sekitar hutan dan masyarakat pedesaan lainnya masih dominan. Dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah disertai dengan karakteristik demografi yang seperti itu, tidak ada jalan lain selain harus memperkuat sektor agromaritim Indonesia. Membangun ekonomi berbasis pelaku mayoritas itulah salah satu ciri demokrasi ekonomi.

 

Kedua, harus dipahami bahwa demokrasi harus dilakukan secara bertahap. Saat ini nampak bahwa demokrasi politik lebih dominan dari demokrasi ekonomi. Padahal yang saat ini diperlukan adalah demokrasi ekonomi karena langsung berhubungan dengan kepentingan kebutuhan rakyat. Dengan demikian, demokrasi ekonomi harus terus diupayakan dengan memperkuat basis pelaku mayoritas yakni agro-maritim. Upaya penguatan sektor agro-maritim dimulai dengan mengatasi ketimpangan agraria dengan memberi akses kepada pelakupelaku agro-maritim terhadap sumber-sumber agraria, baik tanah maupun air. Namun demikian akses pada sumber-sumber agraria ini harus diiringi dengan access reform, yaitu teknologi, modal, pasar, dan SDM. Ini bisa terjadi bila kita menempatkan agro-maritim sebagai rezim “produksi”, dan bukan rezim “perdagangan” semata. Rezim produksi akan mengkondisikan terciptanya nilai tambah dari hasil proses produksi yang dilakukan oleh rakyat. Sementara itu rezim “perdagangan” lebih fokus pada aspek ketersediaan barang dan tidak peduli dari mana barang itu berasal. Disinilah rezim “perdagangan” rentan terhadap praktek perburuan rente yang tidak jarang memberi dampak negatif bagi terwujudnya keadilan. Anehnya rezim “perdagangan” semakin subur di era demokrasi, sehingga muncul fenomena seperti diungkapkan Giddens (1999) tentang paradox democracy. Paradox democracy muncul akibat kekecewaan dan ketidakpuasan rakyat terhadap demokrasi, karena demokrasi yang sudah mapan ditunggangi elit yang memanfaatkan kewenangan yang merugikan banyak pihak.

 

Ketiga, harus dipahami bahwa sangat kuat harapan publik kepada kampus dalam kerangka demokrasi ekonomi. Kampus diharapkan hadir dengan inovasi-inovasi unggul yang menjawab kebutuhan pasar. Dengan Revolusi Industri 4.0, maka kampus pun dituntut mampu hadir dengan inovasi 4.0 yang menjadi solusi bagi masyarakat, industri dan pemerintah. Lahirnya Inovasi 4.0 unggul dengan aplikasi IoT, kecerdasan buatan, drone, blockchain, dan robotic harus dimulai dari strategi riset yang baik. Kampus harus mulai mengembangkan riset-riset transformatif yang berorientasi pada perubahan. Dalam kerangka demokrasi ekonomi dimana ekonomi rakyat harus kuat, maka kampus harus memiliki keberpihakan. Keberpihakan ini akan kuat bila kita memiliki nasionalisme yang kuat. Tugas memperkuat nasionalisme dalam inovasi ini sekaligus menjawab pertanyaan:” Inovasi untuk siapa?” Inovasi harus berpihak. Inovasi 4.0 haruslah inovasi yang membumi dan bermanfaat bagi rakyat luas pelaku di akar rumput. Inovasi yang memberdayakan ini akan memperkuat basis ekonomi rakyat yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada kematangan demokrasi politik.

 

Keempat, harus dipahami bahwa Indonesia masih dalam transisi demokrasi. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, ternyata kita masih fokus pada prosedur demokrasi dan belum sampai pada substansi. Nilai-nilai demokrasi tidak saja belum dimiliki rakyat kebanyakan tetapi juga para elit. Tidak puasnya elit yang kalah dalam Pilkada yang kemudian menyulut kerusuhan di berbagai daerah adalah bukti belum matangnya kita berdemokrasi. Dalam era transisi ini, maka kampus memegang peran penting. Tidak seperti kampus di negara maju yang sudah tidak lagi diperlukan perannya dalam demokrasi karena peran tersebut sudah bisa dimainkan oleh masyarakat luas, di dunia ketiga seperti Indonesia justru sebaliknya. Kampus dengan independensinya sangat ditunggu-tunggu. Kampus ditunggu perannya sebagai penengah ketika polarisasi sosial meluas. Kampus ditunggu perannya sebagai penyejuk ketika suasana ruang publik memanas. Kampus ditunggu perannya sebagai agen kontrol sosial ketika lembaga resmi pengontrol kurang berdaya. Kampus ditunggu perannya sebagai kontributor pemikiran kebijakan pembangunan ketika kebijakan diambil tidak berbasis akal sehat lagi. Namun peran kampus ini harus dipahami semua pihak, sehingga bukan hanya tugas akademisi saja untuk menjaga kampus, tapi juga tugas pemerintah dan politisi untuk turut menjaga marwah kampus.

 

PENUTUP

Kampus dengan kebebasan akademiknya semakin ditantang untuk menghadapi perubahan. Era disrupsi tengah kita hadapi, dan kita harus ambil salah satu dari dua pilihan: to disrupt atau to be disrupted. Semoga kampus kembali terlibat dalam proses sejarah sehingga selalu mencetak sejarah baru di Indonesia.

 

Bogor, 27 Desember 2019